REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memanfaatkan layanan urun dana berbasis teknologi informasi atau securities crowdfunding, sebagai solusi alternatif pendanaan. Adapun budaya itu yang diserap OJK dan diimplementasikan dalam bentuk aktivitas bisnis di pasar modal melalui konsep penawaran efek.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan, kegiatan patungan atau urunan dalam bentuk dana untuk membantu sesama yang sedang membutuhkan bantuan yang menjadi esensi crowdfunding telah menjadi budaya asli Indonesia.
"Mekanismenya tidak dilakukan dengan bertatap muka ataupun kontak fisik, melainkan melalui sebuah aplikasi atau platform digital yang sering kita sebut dengan istilah financial technology securities crowdfunding," ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Rabu (4/8).
Hoesen menyatakan, pada 2018 OJK telah mengeluarkan kebijakan terkait fintech crowdfunding lewat POJK Nomor 37 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi atau Equity Crowdfunding (ECF). Adapun peraturan itu kemudian dicabut usai sejumlah evaluasi menunjukkan ECF memiliki banyak keterbatasan, antara lain ketentuan yang menyebut jenis pelaku usaha harus berbadan hukum PT, dan hanya dapat menawarkan efek berupa saham.
Temuan itu diperkuat data pada akhir Desember 2020, jumlah UMKM yang memanfaatkan ECF dari empat penyelenggara yang ditunjuk baru mencapai 129 perusahaan, dengan jumlah dana senilai Rp 191,2 miliar.
"Jika dibandingkan total jumlah UMKM yang ada di Indonesia, yang menurut data Kemenkop UKM 2018 telah mencapai 64 juta pelaku usaha, jumlah penerbit tersebut masih terbilang sangat sedikit," kata Hoesen.
Sebagai ganti POJK Nomor 37 tahun 2018, OJK menerbitkan POJK Nomor 57 tahun 2020. Di dalam ketentuan ini, jangkauan jenis usaha yang dapat terlibat diperluas hingga meliputi badan usaha seperti CV, firma, dan koperasi. POJK 57 juga memperluas jenis efek, menambahkan obligasi dan sukuk.
Hoesen menjelaskan, kebijakan tersebut diharapkan dapat mengembangkan kesempatan bagi investor ritel, terlebih mereka yang berdomisili di daerah kedudukan UMKM yang menerbitkan SCF. Maka demikian, ekonomi daerah pun turut dimajukan.
Maka itu, Hoesen menyampaikan apresiasi atas dukungan berbagai pihak, seperti dari Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia atau ALUDI. Dia mengajak lebih banyak sarjana ekonomi turut mendorong pemanfaatan SCF.
"Kami sangat mengapresiasi rekan-rekan ALUDI yang terus berkomitmen mendukung pengembangan industri ini, dan kami mengimbau agar semua pihak termasuk para sarjana ekonomi untuk turut berpartisipasi aktif dalam menumbuhkembangkan SCF demi kemajuan UMKM dan perekonomian Indonesia," jelasnya.
Menyusul perubahan kebijakan tersebut, per Juni 2021 total ada lima penyelenggara yang telah mendapat izin OJK. Adapun pelaku UMKM yang menggunakan ECF bertumbuh 24,8 persen (year-to-date) menjadi 161 UMKM, dengan peningkatan jumlah dana terhimpun sebesar 52,1 persen menjadi Rp 290,82 miliar. Hal itu sejalan dengan sisi pemodal yang bertumbuh 54,53 persen (ytd), dari 22.341 menjadi 34.525 investor.