REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung
Pada semester kemarin, alhamdulillah penulis mendapatkan mata kuliah Aqidah/Tauhid. Ilmu yang sangat “sakral” bagi umat Islam, dengan renyah dan ringannya disampaikan oleh Dr Ahmad Kassab, dosen Tauhid di Al-Azhar University Kairo, Mesir.
Penulis pun teringat penjelasan beliau tentang cara memahami ayat-ayat dalam Alquran. Apabila dilihat sekilas, ada beberapa ayat yang mengatakan bahwa nabi-nabi Allah telah berdosa, bermaksiat bahkan “dhalal”. Sementara, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada para utusan-Nya, karena para ulama bersepakat bahwa nabi memiliki sifat ‘ismah/ma'sum (terjaga dari dosa).
Berangkat dari sanalah, para ulama menyelaraskan interpretasi ayat-ayat tersebut dengan sifat wajib nabi, yakni siddiq (benar/jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan), fathanah (cerdas) dan terhindar dari penyakit-penyakit yang membuat orang lari darinya. Karena apabila tafsiran tersebut tidak disesuaikan, akan muncul pemahaman yang fatal dan menyimpang dari kebenaran.
Salah satu contoh dapat ditemukan dalam surat Ad-Dhuhaa ayat ketujuh yang berbunyi (و وجدك ضآلا فهدى). Sekilas, ayat tersebut berarti : “Dan Dia mendapatimu (Muhammad) sebagai seorang yang tersesat, lalu Dia memberikan petunjuk.”
Bila dipahami maknanya secara lahiriah, boleh jadi para pembaca menduga bahwa Nabi Muhammad SAW telah menyimpang dari jalan yang benar, menjauh dari yang hak, sehingga Allah memberi petunjuk kepadanya. Bahkan dugaan ini telah terjadi dan disampaikan oleh seorang muballigh dan sempat viral di media sosial setahun lalu yang kemudian menimbulkan kontroversi di tengah umat Islam.
Tetapi, untuk memahami makna dari sebuah ayat, diperlukan pengetahuan yang menyeluruh dari arti setiap kata dan riwayat-riwayat yang ada. Apalagi dalam memahami ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat wajib bagi Nabi.
Pada ayat di atas, kata dhalal (ضَآل) berpotensi untuk disalah pahami artinya. Kata (ضَآل) -berarti ‘seorang yang tersesat’- memiliki akar kata (ضَلَال) -berarti ‘kesesatan’-. Dalam diktat perkuliahan di Al-Azhar, Al-Mukhtar min Al-Qoul As-Sadiid Fi ‘ilmi At-Tauhid karangan Syeikh Mahmud Abu Daqiqoh, dikatakan bahwa “dhalal” ada tiga macam: Pertama, tersesat dalam kesyirikan -mempersekutukan Tuhan-. Kedua, tersesat dalam kemaksiatan -berbuat dosa besar-. Ketiga, kesesatan jalan -bingung dalam perjalanan-.
Secara logika, kata “dhalal” di ayat tersebut tidak mungkin dimaknai dengan syirik. Bagaimana mungkin manusia mulia yang Allah pilih dan jaga sejak kecil -agar nantinya dapat menyebarkan risalah-Nya-, kemudian menyekutukannya ? Begitupula ulama telah bersepakat bahwa seluruh utusan-Nya terbebas dari syirik, sebelum atau setelah diutus, disengaja maupun tidak.
Sama halnya dengan maksiat. Tidak mungkin utusan yang membawa risalah, malah berdosa atau mengkhianati Dzat yang telah mengutusnya ? Belum lagi kedudukan beliau sebagaii uswah hasanah (teladan yang terbaik) yang sangat bertolak belakang dengan perbuatan maksiat.
Maka kita wajib memaknai kata tersebut dengan kesesatan jalan/kebingungan. Dalam Tafsir Imam Al-Baghawi, Tafsir Al-Zamakhsyari dan Tafsir Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang hampir serupa tentang ayat ini, yakni kesesatan jalan/kebingunan mencari jalan kembali.
Sahabat ada yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW sewaktu kecil pernah tersesat di lembah Mekkah, kemudian pamannya Abu Jahal melihat dan mengembalikannya ke sang kakek Abdul Muthollib. Juga, dikatakan bahwa dahulu iblis menyesatkan kafilah Nabi SAW dan Abu Tholib saat perjalanan ke Syam, kemudian turun Jibril AS untuk menunjukkan arah jalan yang sebenarnya.
Para ulama tafsir di atas pun berpendapat bahwa Nabi SAW sebelum diutus, belum mengetahui apa itu Alqurann, iman dan syariat (QS Asy-Syuro:52), lalu Allah SWT memberinya petunjuk. Sementara, Syeikh Mahmud Abu Daqiqoh mengatakan bahwa secara eksplisit ayat tersebut menggambarkan keadaan Nabi Muhammad (sebelum diutus) saat kebingugan mencari hidayah bagi orang Yahudi, Nasrani dan paganis (penyembah berhala). Maka Allah memberikan hidayah Islam melalui Jibril AS.
Akhirnya, kita harus memahami makna kata “dhalal” dalam ayat tersebut dalam kategori yang ketiga sebagaimana diungkapkan Syeikh Mahmud Abu Daqiqoh di atas. Begitu juga semua tafsiran yang penulis suguhkan bermuara di pendapat ketiga. Pemahaman tersebut akan melahirkan tafsiran yang sesuai dengan sifat ‘ismah/ma'sum yang wajib bagi Nabi SAW dan melenyapkan keraguan yang bisa menodai kehormatan Beliau sebagai sayyidul an biya wal mursalin (penghulu para nabi dan rasul). Sejatinya, seorang penunjuk jalan kebenaran (Nabi Muhammad SAW) mustahil tersesat atau menyimpang dari nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang disampaikannya.
Wallahu a’lam bish-sowwab.