REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meminta komitmen penuh pemerintah daerah dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting karena laju pembangunan di daerah sangat masif.
"Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim butuh komitmen politik karena harus dimulai dari kepala daerah yang diwujudkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (6/8) malam.
Dwikorita mengemukakan hal itu dalam webinar yang digelar Deputi Bidang Klmatologi, BMKG, Jumat (6/8) yang dihadiri Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto, Christoph Zellwenger dari Global Atmosferic Watch (GAW) World Calibration Centre, dan Martin Steinbacher dari Science Activity Center, Swiss.
Menurut Dwikorita, pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim, seperti badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, dan kekeringan yang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih kuat. Selain itu, kata dia, mencairnya es di puncak Jaya Wijaya Papua yang diprediksi oleh BMKG akan punah pada tahun 2025 dan naiknya muka air laut.
Ia menegaskan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah mendesak guna mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar. Dwikorita mengingatkan upaya mengatasi persoalan perubahan iklim adalah tugas yang cukup menantang karena ini membutuhkan komitmen gotong royong dan koneksitas yang kuat dari level pusat hingga daerah dengan usaha-usaha yang komprehensif dan nyata.
Misalnya, lebih menggencarkan penghijauan secara tepat, pengendalian tata ruang secara lestari, pencegahan masif terhadap karhutla, menggalakkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil, serta menerapkan transportasi dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan. "Jika komitmen hanya dilakukan satu daerah, hal tersebut menjadi kurang berarti. Kita harus membangun persepsi bersama bahwa perubahan iklim ini adalah sebuah kerisauan dan ancaman bersama yang juga harus dimitigasi bersama-sama, karena dampaknya tidak mengenal batas administrasi. Masyarakat juga harus dilibatkan, tidak hanya pemerintah," ujarnya.
Dwikorita membeberkan sejumlah fakta yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) bahwa suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari 3 tahun terpanas yang pernah tercatat meski terjadi La Nina. Selain itu, temperatur rata-rata global permukaan Bumi saat ini sudah mencapai 1,2 derajat Celsius lebih tinggi daripada tahun 1850-an.
Di Indonesia, lanjut Dwikorita, berdasarkan pengamatan BMKG, pada tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan dan pengamatan dari 91 stasiun BMKG yang menunjukkan suhu rata-rata permukaan pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7 derajat Celsius dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010. Situasi tersebut, kata dia, memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi.
Salah satunya, kebakaran hutan dan lahan yang tidak hanya dipengaruhi kondisi kekeringan ekstrem, tetapi juga menyebabkan peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara. "Saya berharap fakta-fakta ini dapat perhatian kita bersama guna mencegah pemanasan global makin parah," pungkasnya.