Jumat 13 Aug 2021 13:29 WIB

Penerimaan Cukai Tembakau Rp 298 Miliar pada Semester I 2021

Realisasi penerimaan cukai tembakau pada semester I 2021 turun 28 persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Petani menyiram tanaman tembakau di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur (ilustrasi). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaporkan penerimaan negara pada semester I 2021 dari sektor hasil produk tembakau (HPTL), seperti rokok elektrik dan vape, mengalami penurunan.
Foto: ANTARA/Saiful Bahri
Petani menyiram tanaman tembakau di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur (ilustrasi). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaporkan penerimaan negara pada semester I 2021 dari sektor hasil produk tembakau (HPTL), seperti rokok elektrik dan vape, mengalami penurunan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaporkan penerimaan negara dari sektor hasil produk tembakau (HPTL), seperti rokok elektrik dan vape, mengalami penurunan. Per akhir Juni 2021 realisasi penerimaan cukainya sebesar Rp 298 miliar atau turun 28 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 415 miliar.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan Askolani mengatakan sampai akhir 2021 target penerimaan sebesar Rp 680 miliar. "Kami menargetkan penerimaan HPTL pada tahun ini sedikit menurun dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 690 miliar. Jika penurunan tersebut benar terjadi pada akhir tahun maka bisa jadi ini merupakan pertama kalinya cukai HPTL tidak mencatat pertumbuhan sejak pertama kali dilegalkan pada Oktober 2018," ujarnya kepada wartawan seperti dikutip Jumat (13/8).

Meski demikian, Askolani menuturkan pemerintah telah memberikan insentif cukai, yakni penundaan pembayaran pita cukai yakni 90 hari. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 93 Tahun 2021.

“Melalui PMK 93/2021 para pelaku usaha HPTL dapat memanfaatkan relaksasi pembayaran cukai bulanan sampai Oktober 2021,” kata Askolani.

Kebijakan relaksasi pembayaran cukai ini juga diharapkan dapat menjadi penopang pertumbuhan cukai hasil tembakau atau cukai rokok, yang ditargetkan sebesar Rp 173 triliun tahun ini atau tumbuh t1,7 persen (yoy) dibandingkan realisasi tahun lalu senilai Rp 170 triliun.

Dari kalangan pengusaha, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai situasi penjualan produk industri hasil tembaku (IHT) khususnya kretek yang terpuruk sejak 2020 akibat tiga faktor utama.

Faktor pertama, adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang sangat tinggi pada  2020 dengan rata-rata kenaikan 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 136/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, serta kenaikan cukai pada 2021 dengan rata-rata kenaikan 12,5 persen sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

“Artinya, 68 persen dari setiap penjualan rokok legal diberikan kepada pemerintah sebagai cukai dan pajak,” kata Henry.

Faktor kedua, lanjutnya, daya beli masyarakat turun sepanjang 2020 dan 2021 sebagai dampak pandemi Covid-19. Hal ini  memukul industri karena terjadi banyak penurunan, baik dari sisi bahan baku, produksi hingga omzet. 

Adapun kondisi turunnya penjualan rokok legal cukup drastis seperti produksi sigaret kretek mesin (SKM) legal 2020 turun sekitar 17,4 persen dan sampai kuartal dua 2021, perkembangan sampai Mei 2021 tren penurunan produksi SKM masih terjadi kisaran negatif 7,5 persen dibandingkan pada 2020. 

“GAPPRI memprediksi penurunan produksi  2021 lebih kurang negatif 15 persen. Tren produksi negatif ini akan semakin memperparah kondisi IHT nasional, sehingga akan berpengaruh pada penerimaan negara,” tegas Henry. 

Faktor ketiga, lanjut Henry, peredaran rokok ilegal meningkat pesat yang menggerus pangsa pasar rokok legal yang relatif mahal sebagai dampak kenaikan cukai sangat tinggi. “Kajian resmi kami menyebutkan peredaran rokok ilegal di pasar saat ini telah mencapai 15 persen dari produksi rokok nasional,” imbuh Henry.

GAPPRI memandang perlunya pemerintah  belajar dari beberapa negara tetangga seperti India, Korea Selatan, Malaysia, Kamboja, Thailand, Bangladesh tidak menaikan tarif cukai, sedangkan pemerintah Filipina menaikan lima persen sesuai kebijakan jangka panjangnya 2020-2024, dan Singapura juga tidak menaikan tatif CHT.

“Kami berharap pemerintah untuk menjaga kelangsungan industri hasil tembakau nasional sebagai wujud kemandirian bangsa sebagaimana negara-negara tersebut,” kata Henry.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement