REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Gagas Mataram, Azhar Zaini, menilai, pekerja anak muncul karena adanya masalah kesejahteraan. Kesejahteraan petani saat ini masih rendah sehingga secara otomatis banyak anak yang ikut bekerja membantu orang tuanya.
"Pekerja anak ini tidak akan bisa selesai kalau kesejahteraan petani itu kaitannya dengan bagaimana posisi tawar mereka dengan industri rokok itu lemah. Dan itu terus terjadi sampai kapan pun kalau kesejahteraan itu tidak tercapai," kata Azhar, dalam webinar yang diadakan oleh Lentera Anak, Selasa (24/8).
Selain itu, Azhar berpendapat, seringkali CSR industri rokok hanya sebagai pemanis. "Hanya beberapa desa yang kemudian didampingi, dan itu hanya sekadar sebagai bumbu-bumbu pemanis. Seolah bahwa industri rokok sudah bertanggung jawab terhadap pekerjaannya," kata dia menambahkan.
Azhar, yang juga juru bicara Aliansi Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok ini menyatakan, dari hasil penelitian SMERU yang dibiayai ECLT terkait program kesempatan, ditemukan bahwa pekerja anak yang ditemukan pada saat panen tembakau bisa mencapai 70,4 persen. Sementara di luar panen tembakau hanya 9,8 persen.
Namun Azhar menyatakan, kehadiran ECLT yang melakukan studi untuk meneliti tentang pekerja anak haya sekadar pemanis atau lips service. Apalagi desa yang didampingi juga hanya sedikit.
"Dengan CSR rokok melalui ECLT, seolah-olah industri rokok merasa mereka sudah memenuhi tanggung jawabnya. Seharusnya tidak perlu melibatkan industri tembakau dan harus ada strategi yang kita lakukan bersama untuk menyelesaikan persoalan pekerja anak dan menghentikan strategi pemasaran yang menyasar anak," kata dia menegaskan.