REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- ISIS mengatakan, salah satu pelaku bom bunuh diri di dekat bandara Kabul, Afghanistan menargetkan penerjemah dan kolaborator dengan tentara Amerika Serikat (AS). Pejabat AS menyalahkan kelompok Islam teroris afiliasi ISIS, Negara Islam Khorasan (ISIS-K) sebagai dalang di balik insiden ledakan yang menewaskan puluhan orang pada Kamis (27/8) tersebut.
ISIS menyerang gerbang padat bandara Kabul dalam serangan bom bunuh diri yang menewaskan 60 warga sipil dan sekurangnya 13 tentara AS. Insiden itu mempengaruhi proses evakuasi puluhan ribu warga Afghanistan yang putus asa untuk meninggalkan negara tersebut karena kekhawatiran Taliban berkuasa.
Presiden AS Joe Biden berjanji untuk mengejar para pelaku pengeboman. Dia juga telah memerintahkan Pentagon untuk merencanakan serangan kepada Negara Islam Khorasan (ISIS-K), afiliasi ISIS yang mengaku bertanggung jawab.
"Kami tidak akan memaafkan. Kami tidak akan melupakan. Kami akan memburu Anda dan membuat Anda membayar," kata Biden dalam komentar yang disiarkan televisi dari Gedung Putih.
Kekerasan oleh ISIS merupakan tantangan bagi Taliban yang telah berjanji kepada warga Afghanistan bahwa mereka akan membawa perdamaian ke negara yang mereka taklukkan dengan cepat. Taliban juga mengutuk serangan tersebut. Seorang juru bicara Taliban menggambarkan serangan "lingkaran jahat" yang akan ditekan begitu pasukan asing pergi.
Negara-negara Barat khawatir bahwa Taliban akan membiarkan Afghanistan kembali menjadi surga bagi para militan. Namun, Taliban mengatakan mereka tidak akan membiarkan negara itu digunakan oleh teroris.
Sebelum insiden Kamis, AS dan sekutu mendesak warga sipil untuk menjauh dari bandara Kabul. Alasannya bahwa ada ancaman dari ISIS.
Dalam 12 hari terakhir, negara-negara Barat telah mengevakuasi hampir 100 ribu orang. Namun demikian, Barat mengakui bahwa ribuan orang akan tertinggal, mengikuti perintah Biden untuk menarik semua pasukan pada 31 Agustus.
Beberapa hari terakhir pengangkutan udara sebagian besar akan digunakan untuk menarik pasukan yang tersisa. Kanada dan beberapa negara Eropa telah mengumumkan akhir pengangkutan udara mereka.