Jumat 27 Aug 2021 11:14 WIB

Hamdan Zoelva: Kritik Lewat Mural Dijamin UUD 1945

Hamdan Zoelva menegaskan UU tidak menyebut presiden sebagai simbol negara.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva.
Foto: Surya Dinata/RepublikaTV
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva menegaskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjamin kebebasan berekpresi dalam bentuk apa pun, termasuk mural. Menurut dia, mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan ditemukan di sejumlah wilayah merupakan bagian dari bentuk kritik atas kebijakan pemerintah.

"Ini hal yang biasa, hal yang tidak perlu oleh pemerintah dihadapi dengan penegakan hukum, mengejar siapa pelukisnya," ujar Hamdan dalam acara kajian Islam dan konstitusi secara daring, Jumat (27/8).

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan, setiap pemimpin maupun pemerintah pasti menerima dua respons sekaligus, yakni pujian dan kritikan. Dia menuturkan, jangan menjadi pemimpin jika tidak mau menghadapi pujian maupun kritik dalam waktu bersamaan. "Jadi kritik itu jangan dibungkam, itu biasa," kata Hamdan.

Dia menjelaskan, Undang-Undang tidak menyebut presiden sebagai simbol negara. Dalam UUD 1945 dikenal istilah lambang negara yakni Garuda dan semboyan yang tertera pada garuda itu. Presiden adalah salah satu hal yang paling utama di negara. Namun, meskipun posisinya yang tertinggi di negara, tidak lantas presiden tidak bisa dikritik.

"Simbol negara sudah jelas tuh lambang Garuda dan bendera Merah Putih, kalau presiden tidak bisa disebut istilah simbol negara dalam definisi hukumnya, ya presiden," tutur Hamdan.

Menurut dia, syarat-syarat kebebasan berpendapat harus jelas dibatasi Undang-Undang, bukan dengan peraturan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya. Dalam Undang-Undang, kebebasan berekpresi itu tidak boleh mengganggu ketertiban umum.

Meskipun dalam praktiknya definisi mengganggu ketertiban umum itu sering menjadi diperdebatkan. Hamdan mencontohkan, mural yang memuat konten pornografi dan penghinaan kepada seseorang bukan termasuk kebebasan berekpresi, melainkan hal yang mengganggu ketertiban umum.

Sementara, mural yang saat ini menjadi polemik bahkan direspons cepat aparat dengan penghapusan merupakan kritik terhadap pemerintah. Berbagai perspektif penilaian dalam satu peristiwa memang kerap terjadi, untuk itu dibutuhkan kedewasaan berdemokrasi serta berbangsa dan bernegara.

"Kedewasaan kita untuk melihat suatu masalah dalam persepektif yang lebih luas, dalam perspektif demokrasi, dalam perspektif kehidupan yang makin modern," tegas Hamdan.

Sebelumnya, mural berisi kritik muncul di sejumlah daerah. Misalnya, mural bergambar mirip Presiden Jokowi dengan mata ditutup masker, atau mural foto Jokowi bertuliskan 404: Not Found menghebohkan masyarakat karena kepolisian sebelumnya mengaku mengejar pembuat mural. Tak sampai disitu, sejak mural bergambar Jokowi ini dihapus dan pembuatnya didatangi aparat kepolisian, mural-mural kritik ke pemerintah justru semakin bermunculan. Mural-mural itu berisi kritikan. Antara lain 'Tuhan Aku Lapar', 'Wabah Seungguhnya Adalah Kelaparan', atau 'Hapus Korupsi, Boekan Muralnya.'

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement