REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Nelayan Aceh Timur mengeluhkan merajalelanya kapal pukat harimau menangkap ikan di perairan Selat Malaka, terutama di kawasan pantai timur Provinsi Aceh, dan ingin agar aktivitas kapal-kapal tersebut bisa dihentikan."Aktivitas kapal penangkap ikan menggunakan pukat harimau mengganggu nelayan kecil dan ikut merusak terumbu karang," kata Panglima Laot Aceh Timur Birul Walidin di Aceh Timur, Jumat (27/8).
Birul Walidin mengatakan penggunaan pukat harimau tidak ramah lingkungan. Selain tidak ramah lingkungan, penggunaan pukat harimau mengancam habitat laut karena ikan-ikan kecil ikut tertangkap serta juga merusak terumbu karang."Payung hukumnya larangan pukat harimau sudah ada yaitu Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring pukat Harimau," kata Birul Walidin menyebutkan.
Oleh karenanya, Birul Walidin mengatakan nelayan Aceh Timur mengharapkan kepada Pemerintah Aceh melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh menyelesaikan masalah alat tangkap jenis pukat harimau di perairan Selat Malaka. "Sebaiknya, seluruh pemilik kapal pengguna pukat harimau dipanggil dan meminta mereka mengganti alat tangkap ikannya. Jika tidak, maka harus ambil sikap tegas sesuai hukum," kata Birul Walidin.
Kepala UPTD Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Idi, Aceh Timur, Ermansyah mengatakan kapal penangkap ikan menggunakan pukat harimau banyak beroperasi di perairan Peureulak, Aceh Timur."Kami juga pernah mensosialisasikan penggantian alat tangkap pukat harimau dengan yang lebih ramah lingkungan. Namun, hingga kini masih ada yang menggunakan pukat harimau," kata Ermansyah.
Oleh karena itu, Ermansyah mengajak seluruh pihak menyamakan persepsi dan seluruh instansi mendukung serta tidak saling buang badan dalam menyelesaikan persoalan penggunaan pukat harimau tersebut."Banyak sudah kapal pukat harimau ditangkap di perairan Peureulak. Namun, karena tidak sinkronisani antarinstansi dalam penindakan, sehingga kapal pukat harimau ditangkap tersebut akhirnya dilepas," kata Ermansyah.