REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik Rocky Gerung menganalogikan rencana amendemen UUD 1945 seperti program renovasi rumah yang membuat pemilik rumah tidak nyaman. Percuma dilakukan amendemen jika malah membuat rakyat kegerahan.
Hal ini disampaikan Rocky dalam diskusi publik bertajuk 'Presiden Perseorangan, Presidential Threshold, dan Penataan Kewenangan DPD”, Jumat (10/9). Selain Rocky,hadir dalam diskusi yang digelar oleh Kelompok DPD di MPR tersebut, antara lain ekonom senior Rizal Ramli, Senator DPD RI Tamsil Linrung, pakar hukum Refly Harun, dan aktivis HAM Natalius Pigai, dan Gregerius Seto Hartanto.
Pernyataan rakyat kegerahan ini, menurut Rocky, merujuk pada suara penolakan yang mencuat atas isu yang bergulir dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut. “Percuma ada amandemen jika malah membuat rakyat kegerahan,” kata Rocky seperti rilis yang diterima Republika.co.id.
Amendemen UUD, menurut Rocky, semestinya diarahkan untuk perombakan total kehidupan kebangsaan. Tidak parsial pada rencana Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) semata. "Apalagi dikaitkan dengan isu penambahan periode kepemimpinan dan masa jabatan Presiden yang diinginkan segelintir elit,” ungkap dia.
Rocky menyebut berbagai masalah kebangsaan justru dipendam. Kejahatan bahkan dikunci rapat, seperti kisah klasik kotak pandora. Ia mencontohkan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang saat ini justru tidak diberi peran. “Padahal DPD ini suara paling murni dari rakyat. Dia tidak diedit. Tidak diiintervensi dan diatur-atur (oleh parpol). Semestinya, DPD yang mengatur MPR,” kata Rocky.
Sementara Ketua Kelompok DPD di MPR, Tamsil Linrung, mengatakan, masyarakat justru mempertanyakan jika isu amendemen yang bergulir dikaitkan dengan penambahan periode ketiga jabatan presiden, atau perpanjangan masa jabatan presiden merujuk pada isu penundaan pemilu.
Mantan politikus PKS ini merasa agak aneh jika ada niat perpanjangan jabatan presiden. Sementara tidak ada indikator keberhasilan pemerintah yang diapresiasi rakyat, meski telah diberi waktu lebih dari satu periode.
Merespons upaya DPD mendorong kontestasi elektoral yang lebih kompetitif, pakar hukum Refly Harun mengatakan, salah satu alasan mendasar pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat adalah menghilangkan trauma pada masa Orde Baru. Dijelaskannya, saat itu jumlah calon dibatasi sedemikian rupa. "Capres hanya itu-itu saja,” kata Refly.
Dengan membuka kran yang seluas-luasnya, menurut dia, maka publik dapat menjaring putra terbaik bangsa. Karena itu, ia mengapresiasi upaya mendorong presidential threshold nol persen, atau diturunkan dari ambang batas 20 persen yang berlaku saat ini.
Aktivis dan mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai berpendapat, sistem pemilu saat ini belum merefleksikan keseriusan negara dalam menegakkan hak asasi manusia. Hal itu lantaran sistem perwakilan yang diterapkan tidak representatif, sehingga sebagian besar masyarakat tidak terwakili aspirasinya dalam kebijakan-kebijakan politik.
Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR, Gregerius Seto Hartanto menyatakan, amendemen merupakan keputusan hukum, namun harus ditempuh dengan konsensus politik. DPD sebagai unsur politik elementer di MPR, dapat berperan strategis dalam isu amendemen UUD 1945