REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sersan Marinir Amerika Serikat, Johanny Rosario, salah satu tentara Amerika terakhir yang tewas di Afghanistan selama perang yang dimulai tepat dua dekade lalu oleh serangan 11 September 2001, kembali ke kampung halamannya di Massachusetts dalam peti mati pada Sabtu (11/9).
Beberapa ratus orang berkumpul di dekat Rumah Duka Farrah di Lawrence, Massachusetts, di mana jenazah Rosario tiba dengan mobil jenazah hitam dengan pengawalan sepeda motor polisi. Marinir dengan berpakaian seragam membawa peti mati ke rumah duka, ketika para veteran dalam kerumunan—beberapa aktif bertugas. "Pengorbanan dan keberanian Sersan Rosario harus selalu diingat."
Rosario, 25, termasuk di antara 13 anggota militer Amerika Serikat yang tewas bulan lalu dalam serangan bom bunuh diri di luar Bandara Internasional Hamid Karzai di ibu kota Afghanistan, Kabul.
Dia sedang membantu memeriksa para pengungsi di sebuah pos pemeriksaan di Gerbang Biara bandara ketika bom itu mengoyak kerumunan.
Sekitar 7.100 personel militer AS telah tewas dalam konflik terkait dengan serangan 11 September, dengan sekitar 2.500 dari kematian itu terjadi di Afghanistan, menurut proyek Costs of War di Institut Watson Universitas Brown.
Biaya finansial dari konflik-konflik tersebut mencapai hampir $6 triliun (Rp85,5 kuadriliun), menurut proyek tersebut.
Seperti kebanyakan orang Amerika, Sheila Arias, 41, mengingat 11 September 2001 dengan sangat jelas. Dia berada di salon rambut di Lawrence ketika dia menyaksikan menara kembar World Trade Center New York runtuh setelah pembajak Alqaeda menguasai dua pesawat dan menabrakkannya ke gedung.
Pesawat yang dibajak juga akan menabrak Pentagon di luar Washington dan sebuah lapangan di Shanksville, Pennsylvania. Arias segera setelah mendaftar di Angkatan Darat Amerika Serikat, meninggalkan pekerjaan tetap yang nyaman sebagai pegawai di departemen air Lawrence untuk bergabung dengan upaya militer membasmi Alqaeda.
"Tidak ada masalah bahwa saya harus melayani," kata Arias. "Saya yakin Johanny Rosario merasakan hal yang sama. Selalu ingat namanya Rosario, yang berusia 5 tahun ketika serangan itu terjadi, memulai dinasnya bertahun-tahun kemudian, ketika Amerika Serikat sudah sangat terlibat di Afghanistan,” kata Arias menambahkan.