Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Industri penerbangan Indonesia kembali berada pada titik terendah, setelah beberapa maskapai penerbangan berjadwal nasional kecil dan menengah mulai berguguran sejak 2010, setelah booming di awal tahun 2000. Disusul matinya maskapai penerbangan Mandala Airlines di tahun 2012 lalu dan terus diikuti oleh beberapa maskapai lain.
Dari sisa maskapai berjadwal yang ada (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya, NAM dan Lion Air Group), pada akhirnya di tahun ini juga sempoyongan. Ditandai dengan membengkaknya kewajiban finansial, baik kepada lembaga finansial/bank domestik maupun internasional yang sulit ditanggulangi oleh maskapai nasional dalam kondisi pandemi yang tak kunjung dapat diatasi.
Menyusul ditariknya beberapa armada Garuda Indonesia, Lion Air, dan Batik Air oleh lessors dalam beberapa minggu terakhir, membuktikan terpuruknya finansial maskapai kita. Kondisi ini tidak saja diakibatkan pandemi yang berkepanjangan tetapi juga karena ketidakmampuan manajemen mengurus perusahaan. Krisis Garuda Indonesia, misalnya, sudah muncul sebelum pandemi.
Yang terbaru, Garuda Indonesia kalah dalam kasus gugatan pembayaran uang sewa pesawat di Pengadilan Arbitrase Internasional London (LCIA). Dengan putusan tersebut, Garuda wajib membayarkan uang sewa pesawat, kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian sewa pesawat, dan pembayaran bunga keterlambatan kepada penggugat yakni lessor Helice dan Atterisage (Goshawk). Garuda juga harus membayarkan biaya perkara penggugat.
Manajemen Garuda Indonesia memastikan, putusan LCIA tersebut tidak berdampak langsung terhadap kegiatan operasional maskapai nasional tersebut. Seluruh aspek kegiatan operasional penerbangan akan tetap berlangsung dengan normal. Garuda berkomitmen untuk mengoptimalkan ketersediaan layanan penerbangan yang aman dan nyaman dalam memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat maupun pengangkutan kargo bagi sektor perekonomian nasional.
Dalam laporan keuangan periode Juni 2021, Garuda Indonesia menjelaskan, gugatan ini bermula pada 27 Maret 2020. Helice mengajukan permohonan kepada Pengadilan Belanda untuk melakukan sita jaminan atas dana yang ada pada rekening Garuda di Amsterdam yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Belanda.
Helice juga mengajukan gugatan pokok perkara kepada Perusahaan di Pengadilan London. Pada 20 Januari 2021, Pengadilan London mengabulkan eksepsi kompetensi absolut (challenge of jurisdiction) yang diajukan dengan pertimbangan, Pengadilan London tidak berwenang untuk memeriksa gugatan ini.
Kewenangan ada di LCIA. Pada 16 Februari 2021, Helice dan lessor lain yang berada dalam satu manajemen, yaitu Atterissage, mengajukan gugatan arbitrase di LCIA dan memperbaharui permohonan sita jaminan yang pernah diajukan sebelumnya. Sebulan kemudian, Garuda Indonesia memberikan tanggapan terhadap gugatan dari Helice dan Atterissage tersebut.
Kerugian yang dialami Garuda Indonesia terus membengkak pada semester I 2021. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rugi bersih maskapai nasional ini mencapai 898,65 juta dolar AS atau setara Rp 12,796 triliun (kurs Rp 14.240 per dolar AS) dari sebelumnya 712,72 juta dolar AS atau setara Rp 10,149 triliun pada enam bulan pertama tahun lalu.
Bengkaknya kerugian Garuda Indonesia pada semester I-2021 ini sejalan dengan total pendapatan usaha yang sebesar 696.8 juta dolar AS, atau menurun 24,04 persen dari periode sama tahun lalu 917,28 juta dolar AS. Omzet Garuda Indonesia mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal yang totalnya 556,53 juta dolar AS atau anjlok 25,82 persen dari 750,25 juta dolar AS.
Garuda Indonesia mencatatkan total aset mencapai 10,14 miliar dolar AS per Juni 2021 atau turun dari 10,78 miliar dolar AS per Desember 2020. Aset itu terdiri dari aset lancar 403,57 juta dolar AS dan aset tidak lancar yang mencapai 9,71 miliar dolar AS. Namun, total liabilitas Garuda Indonesia mencapai 12,96 miliar dolar AS per Juni 2021 atau naik dari 12,73 miliar dolar AS per Desember 2020.
Liabilitas jangka pendek Garuda Indonesia mencapai 5,05 miliar dolar AS, sedangkan jangka panjang 7,9 miliar dolar AS. Lantaran total aset yang lebih kecil dari liabilitas, Garuda Indonesia mencatatkan ekuitas negatif 2,84 miliar dolar AS per Juni 2021. Sedangkan per Desember 2020, ekuitas Garuda Indonesia juga sudah negatif 1,94 miliar dolar AS.
Kondisi finansial maskapai penerbangan Indonesia tak beda jauh dengan yang dialami maskapai di negara lain. Bahkan, beberapa di antaranya akhirnya mengalami kebangkrutan pada tahun ini. Beberapa maskapai dunia yang bangkrut adalah maskapai asal Thailand Thai Airways dan maskapai asal Italia, Alitalia.
Namun tidak sedikit juga yang mampu bertahan dengan melakukan diversifikasi usaha di luar bisnis inti. Salah satu yang menempuh cara ini sejak awal pandemi tahun 2020 lalu adalah Air Asia.
Pada akhir September 2020, Air Asia resmi merilis layanan akikah digital. Layanan baru ini terdiri dari akikah luar negeri yang mencakup lebih dari 35 negara di seluruh dunia termasuk Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar, Filipina, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, India, Palestina, Pakistan dan banyak lagi. Kemudian Akikah Makkah di mana penyembelihan akan dilakukan di Kota Suci Makkah.
Tak cukup dengan bisnis akikah digital, maskapai penerbangan asal Malaysia ini juga melebarkan ekspansi bisnis perusahaan. Saat ini, perusahaan mulai fokus pada e-commerce, fintech hingga layanan pesan hotel. Dan mulai pertengahan tahun 2021 ini merambah bisnis ride hailing.
Untuk saat ini, layanan jasa ride hailing taksi online Air Asia yang diberi nama AirAsia Ride ini baru hadir di Malaysia. Air Asia berencana menghadirkan layanan serupa ke beberapa negara seperti Thailand, Filipina, Singapura, termasuk Indonesia. Di Indonesia jasa ride hailing ini disediakan oleh Grab dan Gojek.
Untuk mendukung keseluruhan bisnis barunya ini, Air Asia meluncurkan aplikasi super (super app). Air Asia pun menggandeng Netcore Cloud, untuk meningkatkan kecepatan pengiriman dan inboxing email pada platform super app Air Asia. Beberapa brand ternama di Indonesia yang memanfaatkan Netcore Cloud adalah Gojek, Traveloka, Tokopedia, Smartfren, Bank BCA dan Payfazz.
Tanpa adanya diversifikasi bisnis seperti yang dilakukan oleh Air Asia, akankah maskapai penerbangan Indonesia mampu melewati badai finansial pandemi atau justru bakal rontok seperti yang dialami Thai Airways dan Alitalia?