Jumat 17 Sep 2021 13:46 WIB

TNI AL: Tak Ada Toleransi Pelanggaran di Laut Natuna Utara

Angkatan Laut RI meningkatkan patroli di Laut Natuna Utara.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Prajurit TNI Angkatan Laut melakukan latihan lepas landas helikopter dari geladak Kapal KRI I Gusti Ngurah Rai di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Minggu (4/4/2021). Latihan tersebut merupakan persiapan peletakan batu pertama  pembangun  markas Gugus Tempur Angkatan Laut (Guspurla) Komando Armada I di wilayah natuna.
Foto: Teguh Prihatna/ANTARA
Prajurit TNI Angkatan Laut melakukan latihan lepas landas helikopter dari geladak Kapal KRI I Gusti Ngurah Rai di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Minggu (4/4/2021). Latihan tersebut merupakan persiapan peletakan batu pertama pembangun markas Gugus Tempur Angkatan Laut (Guspurla) Komando Armada I di wilayah natuna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angkatan Laut Indonesia meningkatkan patroli di sekitar pulau Natuna di Laut Cina Selatan (LCS), Kamis (16/9). Hal ini dilakukan setelah kapal-kapal Cina dan Amerika Serikat (AS) terdeteksi di perairan internasional terdekat LCS.

Lima kapal angkatan laut, dibantu oleh patroli udara telah dikerahkan di Laut Natuna Utara untuk mengamankan kawasan perairan tersebut. "Posisi TNI AL di Laut Natuna Utara sangat tegas dalam melindungi kepentingan nasional di wilayah hukum Indonesia sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi sehingga tidak ada toleransi terhadap setiap pelanggaran di Laut Natuna Utara," ujar Panglima Koarmada I Laksamana Muda Arsyad Abdullah seperti dilansir laman Aljazirah, Jumat (17/9).

Baca Juga

Arsyad mengatakan, kapal angkatan laut AS dan China telah terdeteksi di dekatnya beberapa hari ini. Namun ia menuturkan bahwa kapal tersebut tidak menyebabkan gangguan apapun. Hingga kini kapal-kapal itu masih berada di perairan internasional.

Seperti diketahui, pada 2017, Indonesia mengganti nama bagian utara zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara sebagai bagian dari upaya melawan ambisi teritorial maritim China. Kebuntuan selama beberapa pekan di Natuna terjadi awal Januari tahun lalu ketika sebuah kapal penjaga pantai Cina dan kapal penangkap ikan yang menyertainya memasuki Laut Natuna Utara.

Insiden itu pun mendorong Indonesia mengirim jet tempur dan memobilisasi nelayannya. "Tidak ada tawar menawar dalam hal kedaulatan kita, wilayah negara kita," kata Presiden Indonesia Joko Widodo usai kejadian tersebut.

Pada 2016, sebuah kapal angkatan laut Indonesia juga menembaki kapal nelayan Cina yang dituduh melakukan penangkapan ikan ilegal di dekat Natuna, menyusul serangkaian konfrontasi tahun itu. Pada tahun yang sama Indonesia juga memusnahkan 23 kapal penangkap ikan asing dari Malaysia dan Vietnam yang dituduh melakukan illegal fishing di perairan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, pihaknya menenggelamkan 10 kapal Malaysia dan 13 kapal Vietnam yang tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. China belum mengeklaim pulau-pulau Natuna tetapi mengatakan memiliki hak penangkapan ikan di dekatnya.

China mengeklaim sebagian Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah tangkap tradisional mereka. Klaim itu dinyatakan China dengan mengumumkan zona sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang mencakup sebagian besar Laut China Selatan yang kaya energi.

Klaim China yang dituangkan dalam peta sembilan garis putus-putus telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016, sebab tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Namun, China mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement