REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Rabu menuduh negara-negara kaya menimbun vaksin Covid-19, sementara yang miskin menunggu tetesannya.
“Gambarnya suram. Ada kekeringan buatan manusia atas vaksin yang melanda negara-negara miskin,” kata Duterte dalam rekaman video yang ditayangkan pada sidang ke-76 Majelis Umum PBB.
“Negara-negara kaya menimbun vaksin penyelamat nyawa sementara negara-negara miskin menunggu tetesannya. Mereka sekarang berbicara tentang suntikan booster, sementara negara berkembang mempertimbangkan setengah dosis hanya untuk bertahan,” tambah dia.
Duterte menggambarkan perkembangan itu sebagai sesuatu yang mengejutkan dan egois yang tidak dapat dibenarkan secara rasional maupun moral. Presiden mengatakan pandemi Covid-19 tidak akan berakhir kecuali virus itu dikalahkan di mana-mana.
"Vaksin adalah kunci untuk mencapai ini," ujar dia.
Duterte juga mendesak mitra istimewa untuk sepenuhnya mendukung COVAX, inisiatif berbagi vaksin global yang dipimpin oleh PBB. WHO telah berulang kali mengutuk negara-negara kaya karena menimbun vaksin Covid-19 dan telah menyerukan penghentian booster hingga akhir tahun.
Vaksinasi Covid-19 di Filipina dimulai pada Maret dan terus terganggu oleh kelangkaan dan keterlambatan pengiriman. Menurut Our World in Data, situs web pelacakan yang berafiliasi dengan Universitas Oxford, sekitar 19 juta orang – 17 persen dari populasi Filipina – telah divaksinasi penuh.
Baca juga : Menlu Retno Suarakan Kesetaraan Vaksin di Sidang Majelis PBB
Perubahan iklim
Sama seperti Covid-19, Duterte mengatakan perubahan iklim juga telah mengekspos kerentanan yang bervariasi dari negara-negara di seluruh dunia.
"Kita sekarang berada pada titik kritis, di mana kegagalan untuk bertindak mengarah pada konsekuensi bencana bagi seluruh umat manusia," ungkap dia.
Duterte mengatakan Filipina menerima bagian tanggung jawabnya dan akan melakukan bagiannya untuk mencegah bencana kolektif ini. Komitmen iklimnya di hadapan PBB adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Filipina sebesar 75 persen pada 2030.
Dalam hal ini, dia mengutip moratorium pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru dan arahan untuk mengeksplorasi opsi energi nuklir.