REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahma Sulistya, Andri Saubani, Antara
Lelah dan jengah, mungkin itu kata yang pas untuk seluruh masyarakat dunia saat pandemi. Semua sudah rindu dengan nuansa normal pergi ke bioskop, ke mal, dan hingga konser.
Seni pertunjukan, termasuk konser menjadi salah satu sektor dunia hiburan yang terpuruk selama pandemi. Setelah hampir dua tahun tiarap, konser luar ruang pertama sepertinya akan menjadi oase lewat gelaran Jazz Gunung Bromo, pada 25 September 2021 nanti.
Jazz Gunung Bromo sudah menjadi salah satu National Calendar of Event, atau yang tahun ini dikenal dengan Kharisma Event Nusantara dari Kemenparekraf. Dalam kondisi pandemi, festival ini ditantang untuk dapat beradaptasi dan memberikan dampak yang berarti bagi ekosistemnya.
“Kita harus hidup berdampingan dengan pandemi. Kita kehilangan bagaimana menikmati musik, terutama pecinta jazz disajikan secara langsung. Lalu wisata yang menjadi andalan perekonomian kita juga harus turut digerakkan,” kata kata Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, dalam konferensi pers virtual Jazz Gunung Bromo 2021, Kamis (23/9).
Jazz Gunung Bromo pada hakikatnya untuk mengembalikan dan mengingatkan bahwa wisata adalah salah satu yang mendatangkan devisa dan perekonomian masyarakat lokal untuk bergerak. Itu perpaduan yang baik antara musik dan pariwisata.
Penyelenggaraan Jazz Gunung Bromo 2021 akan menjadi simbol kebangkitan pariwisata Indonesia sekaligus kebangkitan perekonomian nasional. Alasannya, event ini mampu menggairahkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi kreatif seperti hotel, restoran, pedagang, penyewaan mobil, dan pelaku industri wisata lainnya di kawasan Probolinggo.
Selain itu para artis dan pekerja seni, termasuk sektor pendukungnya seperti teknisi, sound engineer, dan rekan pekerja lainnya, juga akan mendapatkan kesempatan tampil dan bekerja kembali setelah setahun lebih terpuruk tidak bisa bekerja karena pandemi.
“Saat ini yang kita butuhkan adalah saling support, saling percaya, dan saling doa lalu tetap menjalankan prokes yang baik agar semua elemen dalam ekosistem ini bergerak kembali,” kata penampil dan kurator Jazz Gunung Indonesia, Bintang Indrianto, dalam kesempatan yang sama.
Penyelenggaraan Jazz Gunung Bromo 2021 juga akan menjadi benchmark dan standar penyelenggaraan konser musik di tempat terbuka, dengan protokol yang sangat ketat dan disiplin.
Semua orang yang berada di kawasan amfiteater pertunjukan Jazz Gunung Bromo 2021 wajib memakai masker berstandar SNI. Sebelum masuk ke venue penonton yang dibatasi maksimal 500 orang akan melakukan tes antigen oleh Gerakan Sejuta Tes Antigen. Mereka pun wajib sudah divaksinasi. Penyelenggara juga menyediakan tempat cuci tangan dan hand sanitizer dalam jumlah yang memadai.
“Dengan penyelenggaraan Jazz Gunung Bromo 2021 ini, kami ingin menegaskan bahwa kita harus siap untuk bangkit dan beradaptasi dengan pandemi dan peraturan PPKM. Pertunjukkan ini akan menjadi semacam showcase, bagaimana kolaborasi pemerintah dan kelompok masyarakat menyelenggarakan konser di tengah pandemi,” ungkap penggagas Jazz Gunung Indonesia dan juga Ketua Umum Gerakan Pakai Masker (GPM), Sigit Pramono.
Dengan disiplin dari semua pihak dan vaksinasi, pihak panitia meyakini akan mampu menyelamatkan ekonomi di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif secara bersama-sama.
“Musisi dan seniman saat ini sangat disiplin, kami bergerak dan beradaptasi dengan prokes yang berlaku demi berjalannya kembali industri musik seperti sebelum pandemi melanda. Semoga Jazz Gunung Bromo jadi satu momentum percontohan event lain untuk bisa juga beradaptasi,” kata salah satu penampil yang juga gitaris, Dewa Budjana.