REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengapresiasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bekerja sama dengan peneliti di Inggris. Ia juga menjelaskan, parasetamol adalah emerging pollutant atau bahan pencemar baru yang belum memiliki baku mutu.
"Parasetamol konsentrasinya sangat kecil dan saat ini belum ada memang baku mutu air terkait dengan parasetamol dan makanya ini termasuk di dalam yang namanya emerging polutant," kata Dirjen PSLB3 Vivien dalam konferensi pers virtual Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diikuti dari Jakarta pada Selasa (5/10).
Penelitian itu menemukan konsentrasi parasetamol di dua titik di Teluk Jakarta. Namun, dia menjelaskan bahwa parasetamol adalah bahan pencemar baru dengan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) belum memiliki baku mutunya.
"Emerging pollutant dan kemudian dijadikan baku mutu lingkungan itu biasanya harus ada date series, pemantauan series sehingga kita menemukan polanya dan dari situ kita bisa menemukan baku mutu lingkungannya," ujarnya.
Ia menilai, penelitian yang dilakukan itu baru penelitian pertama yang terkait bahan pencemar parasetamol. "Jadi perlu ada penelitian-penelitian lanjutan yang nanti kalau memang sudah firm baru kemudian kita atur dalam policy atau peraturan," kata Vivien.
Peneliti Oseanografi BRIN Prof Zainal Arifin, salah satu dari dua peneliti BRIN tentang konsentrasi parasetamol di Teluk Jakarta, menjelaskan, penelitian yang dipublikasikan pada 2021 itu mendeteksi konsentrasi parasetamol yang relatif tinggi. "Kami menyebut relatif tinggi artinya kita ada pembanding baik di lokasi di utara Jawa juga dengan beberapa pantai di luar negeri. Kalau di luar negeri, Angke itu tidak jauh berbeda dengan pantai di utara Portugis," kata Zainal.
Dia menjelaskan, konsentrasi parasetamol di pesisir Teluk Jakarta berada di kisaran tidak terdeteksi sampai 610 nanogram per liter. Berdasarkan penelitian di laboratorium, paparan jangka panjang dengan konsentrasi baik rendah maupun tinggi ditemukan berakibat pada gangguan fungsi reproduksi pada jenis kerang.