Sabtu 16 Oct 2021 14:21 WIB

Berapa Sebenarnya Utang Indonesia ke China?

Terdapat perbedaan angka utang yang dikeluarkan pemerintah dengan laporan AidData.

Red: Joko Sadewo
Ekonom Indef Dradjad Wibowo
Foto: tangkapan layar
Ekonom Indef Dradjad Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyarankan Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI), menjelaskan diskrepansi yang sangat besar antara Laporan AidData dengan Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) yang resmi diterbitkan BI berdasarkan data resmi Kemenkeu dan BI. 

"Menurut SULNI, per Agustus 2021 utang luar negeri Indonesia dari China sebesar USD 21.13 milyar, terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 1.67 milyar dan utang swasta USD 19.46 milyar,” kata Dradjad, dalam pesan tertulisnya melalui Watsapp, Sabtu (16/10).

Dradjad menyebut diskrepansinya tidak tangung, sampai USD 13.25 milyar atau Rp 187,55 triliun berdasarkan kurs tengah BI hari ini. Diskrepansi ini jauh lebih besar dari anggaran Kemenhan ditambah Kemenkeu dalam APBN 2021 yang sebesar Rp 162,21 triliun.

"Di mana letak diskrepansi tersebut? Apakah ada dalam utang pemerintah atau swasta? Teman-teman di Komisi 11 dan BPK perlu menelusuri, yang benar data Kemenkeu dan BI atau data AidData? Penjelasan tentang diskrepansi ini sangat penting sekali. Saya sendiri tidak mengetahui siapa yang benar,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Terlepas dari diskrepansi tersebut, Dradjad mengatakan membaca di berbagai laporan, termasuk dari BBC yang juga mengutip AidData, utang dari China tersebut disebut mahal dan tidak transparan. Contohnya adalah berita BBC tanggal 29 September 2021 berjudul “China: Big Spender or Loan Shark?”. Judulnya mempertanyakan China ini tukang jor-joran belanja atau rentenir. Dalam laporan itu disebut bagaimana utang China mencekik Laos, dan adanya praktek off-the-books lending. Maksudnya, pemberian pinjaman yang tidak dicatatkan resmi dalam buku pemerintah. 

Kemenkeu dan BI, menurut Dradjad, wajib transparan membuka terms and conditions dari utang China tersebut. Mereka perlu menunjukkan bahwa Indonesia tidak seperti Laos yang terkena utang mahal dan ada praktek off-the-books lending.

"Semua hal di atas sangat penting karena besar pengaruhnya thd stabilitas fiskal Indonesia di masa mendatang, selain terhadap situasi ekonomi dan sosial generasi mendatang,” ungkap Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement