REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengatakan pro dan kontra tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) perlu dibuat matrik agar diketahui alasan pihak yang mendukung maupun menolak.
"Ini perlu agar diskursus di ruang publik menjadi jelas," kata Arsul saat diskusi Empat Pilar MPR di acara press gathering wartawan parlemen di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/10).
Menurut Arsul, semua kekuatan politik yang ada di MPR sepakat PPHN itu perlu namun belum sepakat soal isinya. Ibarat sepeda motor, kata Arsul, belum diketahui kekuatan mesin, warna, bahan bakar, dan spesifikasi lainnya.
Menurut dia, MPR mempunyai kewajiban untuk mengurai isi PPHN secara perinci sehingga perdebatan yang terjadi tidak lagi berputar pro dan kontra soal PPHN.
Masyarakat yang keberatan terhadap adanya PPHN, menurut Arsul, karena ada pikiran hal demikian memerlukan amendemen UUD NRI Tahun 1945."Bila ada amendemen, masyarakat curiga nanti akan ada agenda lain yang disepakati," kata Arsul.
Agenda lain itu, kata dia, misalnya keinginan kembali ke UUD NRI Tahun 1945 atau memperpanjang periode jabatan presiden. Arsul menjelaskan bahwa berbeda dengan perubahan undang-undang (UU) yang bisa saja tak perlu naskah akademik, sedangkan amendemen UUD memerlukan ketentuan yang harus dipenuhi, seperti syarat jumlah pengusul dan apa yang hendak diubah disertai dengan alasannya.
"Alasan itu harus diajukan terlebih dahulu. Apa-apa yang ingin diubah harus menjadi diskursus publik," katanya dikutip dari siaran pers.
Dari syarat dan ketentuan bagaimana amandemen itu bisa terjadi maka mengubah UUD tak bisa dilakukan sembarangan."Bila diubah secara sembarangan, hal demikian merupakan tindakan inskonstitusional," katanya.
Arsul Sani mengatakan bahwa PPHN adalah haluan negara, bukan haluan pemerintah sehingga apa yang ada di haluan negara tak hanya dijalankan oleh Presiden, tetapi juga oleh lembaga negara lainnya.