Senin 01 Nov 2021 12:05 WIB

Paus Fransiskus: Semoga Tangis Bumi Terdengar di KTT Iklim

Paus Fransiskus memiliki harapan besar pada KTT iklim PBB yang dihelat di Glasgow

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Paus Fransiskus memiliki harapan besar pada KTT iklim PBB yang dihelat di Glasgow. Ilustrasi.
Foto: AP/Petr David Josek
Paus Fransiskus memiliki harapan besar pada KTT iklim PBB yang dihelat di Glasgow. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN – Paus Fransiskus berharap “tangisan bumi” terdengar dalam KTT iklim PBB yang sedang berlangsung di Glasgow, Skotlandia. Lingkungan memang menjadi salah satu fokus Paus Fransiskus dalam misi kepausannya.

“Mari kita berdoa agar tangisan bumi dan tangisan orang miskin didengar (peserta KTT),” kata Paus Fransiskus saat menyampaikan pidato di Lapangan Santo Petrus pada Ahad (31/10).

Baca Juga

Dalam pidatonya, Paus Fransiskus mengisyaratkan memiliki harapan besar pada KTT iklim PBB yang dihelat di Glasgow. “Semoga pertemuan ini menghasilkan jawaban efisien yang menawarkan harapan nyata bagi generasi mendatang,” ucapnya.

Pada Ahad lalu, para pemimpin negara anggota G20 yang menyumbang 75 persen emisi rumah kaca melakukan pertemuan di Roma, Italia. Mereka merundingkan komitmen apa yang dapat dibuat guna menahan peningkatan suhu global.

Pada Maret 2019, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis laporan tentang kondisi bumi. Saat itu, WMO menyebut selama empat tahun terakhir bumi mengalami rekor terpanas. Suhu musim dingin di Kutub Utara meningkat tiga derajat celcius sejak 1990.

Menurut WMO, pada 2018, kenaikan rata-rata permukaan laut global mencapai 3,7 milimeter. Hal itu melampaui kenaikan tahunan rata-rata selama tiga dekade terakhir. Selain itu WMO menyebut konsentrasi karbon dioksida di atmosfer berada pada level tertinggi dan terus meningkat.

Menurut WMO, fenomena tersebut tak bisa dianggap sepele. Sebab kondisi itu dapat memicu terjadinya banjir besar, kekeringan, kekurangan pangan, dan kebakaran hutan pada 2040 jika tindakan tepat sasaran tak segera diambil.

Upaya komunitas internasional untuk menangani perubahan iklim sebenarnya telah dilakukan sejak era 1990-an yakni ketika negara-negara meratifikasi Protokol Kyoto. Ia adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

Protokol Kyoto diadopsi di Kyoto, Jepang pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada Februari 2005. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran gas rumah kaca serta karbon dioksida.

Protokol Kyoto menempatkan beban yang lebih berat kepada negara-negara maju di bawah prinsip common but differentiated responsibilities. Menyadari bahwa negara-negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar karena kegiatan industri mereka telah mengakibatkan naiknya emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Kemudian pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Paris, Prancis, diadopsi Perjanjian Paris atau Paris Agreement. Tujuan dari Perjanjian Paris serupa dengan Protokol Kyoto yakni menuntut berbagai negara, khususnya negara maju, untuk menekan emisi gas karbondioksida guna tetap menjaga suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius.

 

 

 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement