Rabu 03 Nov 2021 07:57 WIB

Pengendalian Iklim dan Komitmen Indonesia 

Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia.

Presiden Joko Widodo menjadi pembicara pada sesi World Leaders Summit on Forest and Land Use di Scotish Event Campus di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya, Selasa (2/11/2021).
Foto: ANTARA/Biro Pers dan Media Kepresidenan/
Presiden Joko Widodo menjadi pembicara pada sesi World Leaders Summit on Forest and Land Use di Scotish Event Campus di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya, Selasa (2/11/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dessy Suciati Saputri/Zainur Mahsir Ramadhan

 

Indonesia memiliki potensi alam yang sangat besar. Indonesia pun akan terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim yang menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.

Karena itu, kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), solidaritas, kemitraan, kerja sama, dan kolaborasi global merupakan kunci. Hal ini disampaikan Jokowi saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11).

"Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020," ujar Jokowi dikutip dari siaran resmi Istana pada Selasa (2/11).

Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai 2024 yang merupakan terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.

"Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030," tambahnya.

Di sektor energi, Indonesia juga terus bergerak dalam pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

"Tetapi, hal itu tidak cukup. Kami, terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan potensi dihijaukan serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju," ujar Presiden.

Indonesia, kata dia, akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif seperti pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau. Menurutnya, penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju, merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

"Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?" tegasnya.

Selain itu, Presiden melanjutkan, carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan dan berintegritas, inklusif dan adil, juga harus diciptakan.

 

photo
Pemerintah Indonesia pada Tahun 2016 telah meratifikasi Paris Agreementmelalui UU No. 16 Tahun 2016, yang selanjutnya diikuti dengan penyampaian dokumen 1st-First Nationally Determined Contribution (1st NDC) kepada UNFCCC (United Nations Framework Convention of Climate Change) sebagai bentuk komitmen Indonesia berkontribusi dalam aksi pengendalian perubahan iklim global. - (KLHK)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement