Rabu 03 Nov 2021 13:01 WIB

Presidential Threshold di Mata Parpol Islam 

Pembahasan PT berlangsung alot karena tiap partai punya suara berbeda.

Deklarator dari Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) La Ode Basir (kedua kanan) bersama Dani Kusuma (kedua kiri), M. Iqbal Siregar (kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers tentang Deklarasi Anies Baswedan for Presiden 2024 di Gedung Joang 45, Jakarta, Rabu (20/10). Kelompok relawan ANIES mendeklarasikan dukungan untuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju pada pemilihan presiden tahun 2024. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Deklarator dari Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) La Ode Basir (kedua kanan) bersama Dani Kusuma (kedua kiri), M. Iqbal Siregar (kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers tentang Deklarasi Anies Baswedan for Presiden 2024 di Gedung Joang 45, Jakarta, Rabu (20/10). Kelompok relawan ANIES mendeklarasikan dukungan untuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju pada pemilihan presiden tahun 2024. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizky Suryarandika/Rr Laeny Sulistyawati

 

Persoalan Presidential Threshold (PT) atau ambang batas mengusung Capres, menjadi isu rutin tiap Pilpres digelar. PT menjadi krusial karena menentukan siapa dan berapa banyak tokoh yang bisa bertarung di Pilpres.

PT mensyaratkan seorang capres wajib memenuhi minimal ambang batas 20 persen suara parlemen untuk bertarung di Pilpres 2024. Praktis, hanya PDIP yang bisa mengajukan Capres tanpa koalisi karena memenuhi syarat PT. Sedangkan parpol wajib membentuk koalisi. Lantas bagaimana parpol Islam menyikapi PT mendekati Pilpres 2024?.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan, persoalan PT berhubungan dengan sikap partai. Sehingga, wajar bila pembahasan PT berlangsung alot karena tiap partai punya suara berbeda. PPP tak mempermasalahkan parpol yang ngotot mengubah PT.

"Soal PT itu bagian dari UU Pemilu, maka tentu setiap fraksi atau parpol bisa menyampaikan usulannya sebagai sikap politik masing-masing partai via fraksinya di DPR. PPP sendiri menghormati hak parpol lainnya," kata Arsul kepada Republika, Rabu (3/11).

Partainya memahami aspirasi masyarakat soal syarat PT yang dianggap terlalu tinggi. Namun, dia terus memantau munculnya desakan menghapus atau menurunkan PT demi variasi Capres di Pilpres mendatang. 

Bahkan, dia mengusulkan, tiap fraksi di Parlemen kembali berkomunikasi bila syarat PT hendak diubah. "Semangat untuk menurunkan PT dengan alasan membuka partisipasi Pilpres yang lebih luas atau terbuka bisa dipahami. Untuk ini fraksi-fraksi yang ada perlu bermusyawarah kembali," ujar Wakil Ketua MPR RI tersebut.

Sedangkan Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hasanuddin Wahid memilih bersikap pragmatis terhadap PT yang sudah ada saat ini. Gagalnya revisi terhadap UU Pemilu, menurutnya, lantas membuat parpol wajib mematuhi aturan tersebut. 

Dia tak mensinyalkan sikap setuju terhadap evaluasi PT mendekati Pilpres yang terkesan dadakan. "Undang-undangnya (UU Pemilu) kan nggak direvisi..lha terus mau diapain?" ujar anggota DPR RI itu.

Adapun Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto menegaskan, partainya tak setuju dengan penerapan PT. Dia meyakini, makin banyak tokoh bangsa yang berani bertarung di Pilpres, bila PT dihapuskan. Penghapusan PT turut dianggap menguntungkan publik karena punya banyak opsi pemimpin.

"PAN dari dulu sepakat nggak perlu ada PT untuk pencapresan, supaya kita bisa memberikan banyak kesempatan kepada anak bangsa untuk ikut kontestasi Pilpres dan masyarakat juga banyak alternatif pilihan," ucap Yandri.

Sedangkan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera menyinggung pentingnya revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) saat ini atau di kemudian hari. Sebab, PKS tak sepakat dengan angka PT sebesar 20 persen yang dianggap terlalu tinggi. 

PAN dan PKS selaku partai oposisi mengaku, sudah mengusahakan agar ada perubahan soal PT, entah itu dihapus atau diturunkan. Namun suara PAN dan PKS yang sekitar 15 persen di Parlemen, gagal menggolkan upaya tersebut. 

PAN merasa sulit meloloskan penghapusan PT karena melawan partai koalisi pemerintah dengan hampir 3/4 suara di parlemen. 

Adapun PKS menuding, usaha oposisi akan menemui jalan buntu karena pihak pemerintah tak mau mengubah PT. "Pemerintah tidak mau revisi," sebut Mardani.

Di sisi lain, PKB dan PPP satu hati soal penurunan PT di kemudian hari bila revisi UU Pemilu kembali bergulir. Kedua parpol yang basis pemilihnya warga Nahdliyin itu, juga seiya sekata agar PT setidaknya ada di kisaran minimal 10 persen.

"Sebaiknya PT tidak terlalu tinggi, 10-15 persen itu moderat," ucap Hasanuddin Wahid.

"Ya jika bisa turun jd 10-15 persen sudah bagus," timpal Arsul Sani.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement