REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan, Indonesia sebagai negara Pancasila yang berketuhanan tidak memberlakukan hukum agama tertentu. Tetapi wajib semua pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya.
Menurut Mahfud, negara Pancasila yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mietsaqon ghaliedza atau modus vivendi yang oleh Nahdlatul Ulama (NU) sering disebut sebagai Dar al Syahadah, oleh Muhamadiyah disebut Dar al Ahdi wa al Syahadah. Ada juga yang menyebutnya Dar al Hikmah.
‘"Dalam istilah yang lebih akademis konsep Dar al Mietsaq atau Dar al Ahdi sering disebut sebagai Religious Nation State, negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler," kata Mahfud saat menjadi narasumber di Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII yang diselenggarakan Komisi Fatwa MUI, Selasa (9/11).
Mahfud mengatakan, penerapan syariah dalam konteks NKRI, dalam arti luas mencakup semua jalan atau ajaran Islam yang meliputi akidah, akhlak, ibadah mahdhah, dan muamalah. Sedangkan syariah dalam arti khusus sering dikaitkan dengan hukum yang lebih spesifik, yakni dikaitkan dengan fikih.
"Syariah dalam arti spesifik ini melahirkan aturan-aturan tentang ibadah baik mahdhah maupun ghairu mahdhah," ujarnya dalam siaran pers dari MUI yang diterima Republika, Rabu (10/11).
Ia menerangkan, syariah melahirkan kajian-kajian mengenai fikih ibadah (ritual), dan fikih sosial yang banyak cabangnya seperti Jinayah, Syakhsiyah, Siyasah, Mi’sa, dan lainnya. Syariah dalam arti luas dapat dilaksanakan oleh pemeluk Islam dengan perlindungan negara. Sedangkan syariah dalam arti khusus seperti hukum fikih muamalah yang bergantung kepada bidang hukumnya.
"Untuk hukum publik seperti tata negara, administrasi negara, lingkungan hidup, dan lain-lain berlaku unifikasi atau berlaku yang sama untuk seluruh rakyat. Di sini bertemu kalimatun sawa (kata sepakat)," jelasnya.
Mahfud mengungkapkan, mengenai hukum privat, baik ritual maupun sosial bisa berlaku hukum masing-masing berdasarkan pada pilihan dan keyakinannya sendiri dan negara melindungi. Jika disepakati secara legislasi yang privat pun bisa jadi hukum nasional. Misalnya tentang perkawinan, tentang wakaf, tentang pengelolaan zakat, tentang jaminan produksi halal, tentang peradilan agama dan tentang kompilasi hukum Islam.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII digelar pada 9-11 November 2021. Kegiatan ijtima ulama ini dilaksanakan secara hybrid dengan protokol kesehatan, diikuti oleh 700 peserta undangan. Peserta yang hadir secara fisik sebanyak 250 orang, dan sisanya hadir secara virtual.
Kepesertaan dalam kegiatan ijtima ulama kali ini terdiri dari Dewan Pertimbangan dan Dewan Pimpinan MUI, pimpinan dan anggota Komisi Fatwa MUI pusat, pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, Ketua MUI Bidang Fatwa dan Komisi Fatwa MUI Provinsi se-Indonesia, Pimpinan Pondok Pesantren, Pimpinan Fakultas Syariah PTKI, serta para pengkaji, peneliti, dan akademisi di bidang fatwa.