REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS — Suriah tercatat menjadi negara dengan jumlah korban ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak yang digunakan dalam perang tertinggi di dunia pada tahun ini. Sebelumnya, Afghanistan menjadi negara dengan jumlah korban tertinggi akibat ranjau darat dan sisa-sisa peledak yang tercatat pada 2020.
Kelompok pemantau The Landmine Monitor mencatat korban di Suriah sejak 1999 adalah 2.729 orang tewas maupun terluka. Secara global pada 2020, laporan itu mengatakan setidaknya 7.073 korban ranjau dan sisa-sisa bahan peledak perang, termasuk 2.492 kematian, tercatat di 54 wilayah negara di dunia.
Jumlah korban secara keseluruhan berada di bawah 9.440 yang pernah tercatat pada 2016, tetapi saat ini kembali naik dari 5.853 pada 2019. "Ini sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan konflik bersenjata dan kontaminasi ranjau yang bersifat improvisasi," ujar pernyataan The Landmine Monitor dilansir Al Araby, Kamis (11/11).
Jumlah tersebut tetap jauh lebih tinggi dari titik terendah sepanjang masa yaitu 3.456 yang terdaftar pada 2013. Sekitar 164 negara terikat oleh Perjanjian Pelarangan Ranjau yang dibuat pada 1997. "Jumlah korban yang terus meningkat dan hasil pembersihan yang lambat dan mengecewakan menyoroti tantangan serius dan terus-menerus untuk implementasi perjanjian," jelas editor dari The Landmine Monitor, Marion Loddo.
Jika ingin mencapai dunia bebas ranjau, Loddo mengarahkan setiap negara harus melipatgandakan upaya menuju pelaksanaan kewajiban dengan cepat. Termasuk dengan melakukan distribusi sumber daya yang jauh lebih efisien di antara semua negara bagian dan teritori yang terkena dampak.
Dari usia, status pertempuran, dan jenis kelamin korban diketahui sebanyak 80 persen korban adalah warga sipil dan separuhnya adalah anak-anak. Sementara sebanyak 85 persen korban adalah laki-laki.