Sabtu 13 Nov 2021 05:27 WIB

Berkencan Sebagai Muslim Kulit Hitam di Inggris

Identitas sebagai Islam ternyata penting bagi Muslim Kulit Hitam Inggris

Red: Muhammad Subarkah
Mustafa, Muslim Inggris ketika berkisah tentang lika-liku mencari jodoh di London.
Foto:

Dialog, bukan monolog

Habiba, seorang wanita lajang berusia 50-an yang tinggal di Birmingham, setuju. J dan Habiba adalah generasi yang terpisah namun mereka berbagi apresiasi terhadap kekuatan hubungan manusia. "Di dunia yang semakin individualistis, apa yang bisa lebih indah daripada merasa terhubung secara sosial dan romantis," tanyanya.

“Kami membutuhkan cinta, kami membutuhkan persahabatan dan kami perlu disanjung. Kita perlu merasa istimewa. Tidak peduli berapa usiamu, ”katanya tulus.

Habiba baru berusia 23 tahun ketika dia meninggalkan rumahnya di Nigeria barat daya untuk bersama suaminya di Inggris. Saat itu bulan Oktober 1990, dan Inggris terasa seperti tempat yang dingin dan sepi, jauh dari lingkungan yang semarak dan ramah seperti biasanya.

Habiba dan suaminya sudah lama berpisah sebelum meninggal lima tahun lalu. Dań dia menggambarkan tantangan pernikahan seperti "kejutan kulit". “Kami jauh dari sempurna,” katanya. "Ada bagian dari pernikahan saya yang tidak akan pernah saya diskusikan dengan siapa pun, terkadang, itu salahnya dan terkadang, itu salah saya."

Sikap itu Habibah lakukan sampai menjelang akhir, yakni sampai pada keputusan antara mencoba menyelamatkan pernikahan atau memprioritaskan kebutuhan anak-anak mereka. “Saya tidak ingin membahayakan mereka,” jelas Habiba. “Ketika mereka tumbuh dewasa dan mereka mulai menjalani hidup mereka sendiri, saya menyadari sudah waktunya untuk mulai menjaga diri sendiri. Aku tidak ingin kesepian.” 

Ketika anak-anaknya tumbuh dewasa, dan akhirnya pindah, dia menyambut gagasan berkencan. Salah satu temannya yang berniat baik mencoba memainkan peran sebagai mak comblang – menjebaknya dengan teman lain yang juga seorang Muslim Kulit Hitam. Teman itu telah mencoba selama berminggu-minggu tanpa Habiba curiga. Pria itu menyewakan sebuah properti dan teman Habiba mengatur sebuah rumahndengan maksud agar Habiba membantunya menemukan penyewa. Teman itu mendesaknya untuk "meneleponnya secara teratur".

“Kemudian saya berkata kepada teman saya, ‘ada apa ini?’,” kenang Habiba. “Dia berkata, 'Dia sangat pemalu, saya ingin Anda tetap berhubungan dengannya dan membuatnya tetap termotivasi sehingga dia bisa keluar dari cangkangnya.'

"Saya bilang 'Dia hampir 60, bagaimana dia bisa malu?'" tambah Habiba.

Mereka berkencan sebentar, tetapi Habiba mengatakan dia tidak pernah lepas dari cangkang pepatahnya. Dia mengatakan hubungan itu tidak bisa matang karena tidak ada komunikasi yang konsisten.

Lalu untuk mengilustrasikan maksudnya, dia menggambarkan bagaimana dia hanya akan membalas satu dari setiap empat panggilannya. Beberapa panggilan tak terjawab kemudian. Dia kemudian memblokirnya di ponsel dan aplikasi media sosialnya dan tidak menoleh ke belakang sejak itu. "Aku tidak mengomel," katanya.

Ditanya apakah dia memiliki saran untuk diberikan kepada mereka yang kurang berpengalaman, dia menyimpulkan, “Hubungan bukan untuk egois. Ini dialog, bukan monolog. Komunikasi adalah tulang punggung dari setiap hubungan. Tidak peduli betapa tidak nyamannya subjek tersebut, bicarakanlah. Setuju untuk tidak setuju, tapi saling memaafkan!” 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement