REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski masih jadi pro kontra, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyetujui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Komnas HAM namun meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk mengadakan dialog dan mengajak bicara, termasuk Komnas HAM.
"Secara umum Komnas HAM setuju dengan Permendikbud PPKS, tetapi saya ingatkan Mendikbudristek supaya terbuka pada publik. Buka dialog lebih luas," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat berbicara di diskusi virtual bertema Pro Kontra Permen PPKS, Sabtu (13/11).
Menurutnya, persoalan Permendikbud ini perlu diselesaikan dengan duduk bersama. Komnas HAM ingin ada penjelasan lebih detil mengenai mekanisme di Permen. Komnas HAM meminta Kemendikbudristek menjelaskan Permen ini dalam rangka mencegah kekerasan dengan dasar dan standar apa. Sebab, dia melanjutkan, bukan hanya organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang tidak diajak bicara oleh Kemendinbudristek untuk membahas Permen ini. Komnas HAM, dia melanjutkan, juga tidak pernah diajak bicara untuk mendiskusikan masalah ini.
"Padahal, kami pasti lebih mengetahui persoalan ini dari perspektif HAM," ujarnya.
Komnas HAM menyadari Kemendikbudristek memiliki niat yang baik. Namun, dia melanjutkan, tidak dilibatkannya berbagai pihak terkait isi Permen tersebut telah memunculkan persoalan. Ini terbukti dengan Permen yang menjadi polemik hingga kini.
Oleh karena itu, Komnas HAM menilai pentingnya Kendikbudristek terbuka dengan semua pihak dan mengadakan dialog. "Makanya saya sangat menyesalkan dari pihak Kemendikbudristek tak hadir di diskusi kali ini. Padahal, ini kesempatan mereka untuk menjelaskan," katanya.
Kalau Kemendikburistek merasa tak perlu menjelaskan, Komnas HAM mengingatkan banyak kontroversi dan pertanyaan Permen yang perlu dijawab. Di antaranya definisi apa tujuan Permen ini dan ke mana arahnya.
Seharusnya, dia menambahkan, ada jawaban dari Kemendikbudristek pasti mengenai pertanyaan ini. Ia menjelaskan, kekerasan seksual dari sisi hukum internasional adalah terkait persetujuan seksual (sexual consent).
"Bukan hanya terkait seseorang menyatakan persetujuannya terhadap transaksi seksual, tetapi juga terkait anak. Soalnya terkait konvensi anak, manusia di bawah 18 tahun itu meskipun memberikan persetujuan interaksi seksual, dia dianggap tidak memiliki consent karena dianggap belum dewasa dan matang," katanya.
Ia menambahkan, consent jadi penting untuk membuktikan apakah ada unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak yang lain ketika terjadi interaksi.