Rabu 17 Nov 2021 00:45 WIB

Rencana Pelarangan Perayaan Libur Nataru Disambut Positif

Peningkatan jumlah kasus juga terjadi karena masyarakat mulai teledor dengan prokes.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Mas Alamil Huda
Petugas gabungan Satgas Covid-19 melakukan pemeriksaan surat keterangan tes cepat antigen kepada wisatawan di jalur wisata Puncak, Gadog, Kabupaten Bogor,  Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Pemerintah berencana melarang perayaan libur Natal dan tahun baru secara berlebihan.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Petugas gabungan Satgas Covid-19 melakukan pemeriksaan surat keterangan tes cepat antigen kepada wisatawan di jalur wisata Puncak, Gadog, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Pemerintah berencana melarang perayaan libur Natal dan tahun baru secara berlebihan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menyambut baik rencana pemerintah melarang perayaan libur Natal dan tahun baru  2022 (Nataru). Ia menyarankan agar pemerintah melarang kerumunan pada saat sebelum dan sesudah libur panjang Nataru. Hal ini untuk memastikan tidak adanya masyarakat yang melakukan 'petak umpet' dan tetap ngotot melakukan perayaan di akhir tahun .

"Karena, perayaan ini kan bisa sebelum dan bisa setelah, kuncinya adalah kesadaran masyarakat dalam memiliki analisa risiko pribadi. Tentu saran saya semua kerumunan dilarang semuanya. Karena kita tidak bisa menjamin, nanti wilayah yang PPKM level 1 kan tidak dilarang, nanti orang pada ke sana (seperti Jakarta). Nanti petak umpet kayak Lebaran," kata Dicky kepada Republika.co.id, Selasa (16/11).

Baca Juga

Dicky sangat mendukung adanya pelarangan kerumunan serta peniadaan libur bersama pada perayaan Nataru. Menurutnya, hal itu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk tetap menekan angka penyebaran Covid-19.

Karena, sambungnya, tak bisa dipungkiri terbatasnya sumber daya manusia dalam pengawasan menjadi masalah utama. Oleh karenanya, peran para pemuka agama sangat dibutuhkan untuk mengajak dan memberi memberi literasi berupa strategi komunikasi yang mejelaskan bahwa situasi pandemi ini belum usai.

Tak hanya itu, ia mengatakan, peningkatan jumlah kasus juga terjadi karena masyarakat mulai teledor dengan protokol kesehatan yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas atau 5M. "Selain itu, faktor lain yang berpengaruh adalah 3T yang belum memadai, 5M yang melonggar," ujarnya.

Sehingga, Dicky mengingatkan pemerintah untuk mengambil langkah serius. Dia bilang, langkah pencegahan lebih baik daripada sebaran kasus secara masif terlanjur terjadi. "Bicara terkait peningkatan sebaiknya disikapi serius daripada meledak," tegas dia.

Hal senada diungkapkan Juru Bicara Penanganan Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Erlina Burhan. Menurutnya, kunci keberhasilan menghadapi pandemi adalah tetap menjalankan protokol kesehatan dan menghindari keramaian, termasuk berbagai perayaan yang menyebabkan kerumunan.

"Kuncinya tetap prokes dan hindari keramaan. Virus itu menyebar dari interaksi dekat antarmanusia," tegas Erlina kepada Republika.co.id.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement