REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembinaan dan pengembangan karir guru di Tanah Air, selama ini, tidak mengacu pada sistem meritokrasi. Bahkan, peningkatan karir guru berkualitas pun kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Wajar bila kemudian Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Kemenristekdikti dan Kemenag, memperbaiki sistem tata kelola guru. Termasuk sekolah swasta yang pengelolaannya dilakukan tanpa dasar regulasi kepada yayasan.
Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri mengungkapkan, banyak guru sekolah sampai jenjang S2 bahkan S3, tapi tidak berdampak bagi karir mereka. "Tidak ada reward. Begitu juga tidak ada mekanisme peningkatan karir guru ASN dan swasta apalagi honorer yang berjenjang seperti dosen," kata Iman dalam keterangan pers, Kamis (25/11) di momen Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2021.
Iman menilai, para guru ASN memilih menempuh jalur birokrasi struktural di Pemda/Dinas Pendidikan seperti Kepala Seksi atau Kepala Bidang karena minim penghargaan dan tertutupnya jenjang karir. Padahal, guru adalah jabatan fungsional.
"Lebih sedih lagi, guru honorer tak punya kesempatan meningkatkan kompetensi dan mengembangkan karir," ujar Iman.
Iman juga menyinggung guru swasta tidak memiliki jenjang karir yang signifikan. Contoh, ketika seorang guru tetap di suatu yayasan yang sudah lama mengajar berhenti, lalu memutuskan pindah ke sekolah swasta lain, mereka harus memulai status dan karir dari nol kembali.
"Tidak menyesuaikan golongan/pangkat di sekolah sebelumnya, padahal mereka sudah punya portofolio dan pengalaman mengabdi," ucap Iman.
Pola rekrutmen guru yang sangat diskriminatif itu lazim terjadi di sekolah swasta/madrasah seluruh Indonesia. Ia meyakini, kondisi itu bukti negara gagal membangun pola pembinaan jenjang karir guru.
"Wajar saja guru ASN berprestasi memilih menyeberang menjadi birokrat struktural, tidak jadi guru lagi," sebut Iman.
Sebagai solusi, P2G meminta pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Iman menyarankan, sebaiknya pengaturan dan tata kelola guru dan dosen dipisah dalam UU berbeda.
"Sebab kebutuhan, rekrutmen, pembinaan karir, dan kondisi riilnya berbeda," ucap Iman.
Kata dia, pengelolaan guru membutuhkan sistem yang baru agar guru berkualitas terjamin dari segi kesejahteraan, peningkatan kompetensi, pembinaan dan pengembangan karir, perlindungan. "Tentu ini butuh pola rekrutmen yang tertata," ucap dia.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengakui, pengelolaan tenaga pengajar, masih menjadi salah satu masalah dalam manajemen pendidikan di Indonesia. Kata dia, terjadinya ketidakmerataan distribusi hingga kesejahteraan guru, masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan.
Padahal, guru merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. "Bagaimana mengharapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia akan mumpuni, jika para guru tidak bisa mendidik secara optimal," tegas dia.
Program PPPK, dipandangnya, menjadi terobosan pemerintah untuk mensejahterakan guru honorer. Namun, Huda masih melihat sejumlah permasalahann, seperti rendahnya pengajuan formasi dari pemerintah daerah, tingginya passing grade seleksi, rendahnya poin afirmasi, hingga kepastian jadwal seleksi.
"Permasalahan ini harus segera dituntaskan, agar target rekrutmen sejuta guru honorer ini bisa tuntas tidak lebih dari 2022. Jangan sampai pelaksanaan program rekrutmen sejuta guru honorer ini menjadi persoalan tersendiri di kemudian hari karena tak kunjung tuntas," ujar Huda.