Sabtu 27 Nov 2021 13:36 WIB

Butuh Vaksin Covid-19 Baru untuk Lawan Varian Omicron?

Varian Botswana (B.1.1.529) alias omicron dikhawatirkan turunkan efektivitas vaksin.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech. Pengembang vaksin kemungkinan harus membuat produk baru untuk merespons varian omicron.
Foto: AP/Mary Altaffer
Vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech. Pengembang vaksin kemungkinan harus membuat produk baru untuk merespons varian omicron.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan Covid-19 telah memiliki sejumlah varian dari hasil mutasi. Varian terbaru yang pertama kali terdeteksi di Botswana menimbulkan kekhawatiran secara luas mengenai keampuhan vaksin yang ada saat ini dalam memberikan perlindungan.

Efektivitas dari vaksin yang sudah tersedia sejauh ini di dunia dipertanyakan karena berbagai varian baru dari Covid-19. Kekhawatiran itu semakin besar dengan adanya varian Botswana yang dinamai omicron oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Baca Juga

Omicron telah dikategorikan sebagai "variant of concern" atau varian yang menjadi perhatian oleh WHO pada Jumat (26/11). Predikat itu ditetapkan karena tingkat mutasinya yang tinggi dan menyebar dengan cepat hanya dalam beberapa pekan.

Varian baru ini pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan. Ada tanda-tanda penularan yang cepat di sana.

Selain itu, omicron juga menunjukkan kemampuan yang lebih besar dalam menghindari kekebalan tubuh, baik pada orang yang sudah divaksinasi Covid-19 atau terinfeksi secara alami. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), saat ini membatasi perjalanan dari Afrika Selatan dan tujuh negara lainnya karena kekhawatiran atas varian tersebut.

Dilansir NBC News, para ilmuwan masih harus melihat apakah omicron menimbulkan risiko gejala berat atau risiko kematian yang lebih besar, termasuk di antara orang-orang yang sudah divaksinasi. Namun, ilmuwan medis di Institut Nasional untuk Penyakit Menular di Afrika Selatan sebagai negara pertama yang melaporkan varian baru ke WHO mengatakan data itu tidak akan tersedia selama dua pekan ke depan atau lebih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement