Jumat 03 Dec 2021 00:24 WIB

Ahli FDA Debat Sengit Soal Obat Covid-19, Mana yang Dipilih?

Para ahli FDA berdebat cukup sengit terkait manfaat dan risiko dari obat Covid-19.

Red: Nora Azizah
Para ahli FDA berdebat cukup sengit terkait manfaat dan risiko dari obat Covid-19.
Foto: www.freepik.com
Para ahli FDA berdebat cukup sengit terkait manfaat dan risiko dari obat Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adysha Citra Ramadani

Para ahli dalam panel Food and Drug Administration (FDA) berdebat cukup sengit mengenai risiko dan manfaat dari obat oral pertama Covid-19 produksi Merck dan Ridgeback Biotherapeutics, molnupiravir. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa lebih dari setengah ahli merekomendasikan FDA untuk memberikan izin terhadap molnupiravir.

Baca Juga

Ada sebanyak 13 ahli yang merekomendasikan molnupiravir dalam panel tersebut. Sedangkan sebanyak 10 ahli memberikan suara yang berlawanan. FDA tak memiliki kewajiban untuk mengikuti saran yang diberikan oleh para ahli dalam panel. Akan tetapi, FDA biasanya akan mengikuti saran-saran yang dihasilkan dari panel tersebut.

Penggunaan molnupiravir sebagai obat Covid-19 memicu perdebatan karena risiko efek sampingnya. Bila digunakan pada ibu hamil misalnya, molnupiravir bisa menyebabkan kecacatan pada janin. Para ahli juga berulang kali berdiskusi mengenai apakah mereka percaya terhadap data efektivitas molnupiravir.

"Alasan kita memiliki diskusi ini adlaah karena efikasi dari produk ini tidak baik," jelas W David Hardy dari Charles Drew University School of Medicine and Science, seperti dilansir StatNews, Jumat (3/12).

Hardy mengatakan efikasi yang tidak terlalu bagus membuat banyak ali merasa tidak nyaman untuk menyebut obat ini sebagai kemajuan terapi. Terlebih, obat ini diberikan secara oral bukan lewat intravena.

Pada 1 Oktober lalu, kemunculan molnupiravir sebagai obat Covid-19 pertama yang menurunkan tingkat perawatan di rumah sakit dan kematian dianggap sebagai sebuah terobosan. Namun pada Jumat, Merck merilis data dari seluruh populasi dalam studi yang menunjukkan bahwa manfaat molnupiravir tampak mengalami penurunan yang cukup banyak.

Sebagai contoh, data awal yang dirilis pada 1 Oktober menunjukkan bahwa molnupiravir tampak menurunkan perawatan di rumah sakit sebesar 50 persen, atau penurunan absolut sebesar 7 persen. Pada hasil keseluruhan, penurunan perawatan di rumah sakit ini menciut jadi 30 persen, atau setara dengan 3 persen perbedaan absolut pada perawatan di rumah sakit dalam populasi penuh.

Kekhawatiran juga muncul muncul terkait cara kerja obat, yaitu menghambat kemampuan virus untuk mereplikasi materi genetiknya. Kemampuan ini dinilai berpotensi menyebabkan kecacatan pada janin atau bahkan merusak DNA pasien, yang kemudian membaut pasien berisiko terhadap masalah kesehatan jangka panjang seperti kanker.

Baik pihak Merck maupun ilmuwan FDA menatakan dampak-dampak tersebut tidak mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan molnupiravir hanya dikonsumsi selama lima hari.

"Saya pikir, pada saat ini, berdasarkan semua data, kami percaya bahwa keseluruhan risiko manfaat adalah positif bagi pasien berisiko tinggi," pungkas Chief Medical Officer Merck, Roy Baynes.

Setelah pemungutan suara dilakukan, Baynes mengatakan keputusan akhir sebaiknya diserahkan kepada para dokter. Baynes mengatakan para dokter memiliki posisi terbaik untuk menentukan risiko dan manfaat relatif dari penggunaan molnupiravir bagi pasien mereka.

Belum lama ini, Pfizer juga merilis data sementara mengenai obat Covid-19 mereka. Obat yang digunakan selama lima hari tersebut menunjukkan efikasi sebesar 89 persen. Data keseluruhan dari studi belum tersedia saat ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement