Sabtu 04 Dec 2021 05:25 WIB

Joe Biden Dikecam atas Kebijakan Perbatasan Meksiko

Biden berlakukan kembali kebijakan Trump di perbatasan Meksiko

Rep: Puti Almas/ Red: Esthi Maharani
Presiden Joe Biden berbicara ketika dia mengumumkan bahwa dia mencalonkan Jerome Powell untuk masa jabatan empat tahun kedua sebagai ketua Federal Reserve, dalam sebuah acara di South Court Auditorium di kompleks Gedung Putih di Washington, Senin, 22 November 2021.
Foto: AP/Susan Walsh
Presiden Joe Biden berbicara ketika dia mengumumkan bahwa dia mencalonkan Jerome Powell untuk masa jabatan empat tahun kedua sebagai ketua Federal Reserve, dalam sebuah acara di South Court Auditorium di kompleks Gedung Putih di Washington, Senin, 22 November 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendapat kecaman atas keputusan memberlakukan kembali kebijakan yang diadopsi saat era kepemimpinan mantan presiden Donald Trump mengenai migran dan pencari suaka di perbatasan Meksiko.

Menurut laporan, Biden memberlakukan kembali kebijakan yang memuat ketentuan bahwa para pencari suaka harus tetap berada dan menunggu di Meksiko hingga klaim mereka diproses. Kelompok advokasi migran mengatakan bahwa mengembalikan program ‘Remain in Mexico’ akan memicu kejahatan dan kekerasa di kamp-kamp yang ada di perbatasan.

Sebelumnya, Biden, yang resmi menjabat sebagai Presiden AS pada 20 Januari lalu menangguhkan kebijakan tersebut. Ia bahkan mengatakan bahwa itu adalah ketentuan yang sangat tidak manusiawi.

Namun, Biden kemudian diperintahkan oleh pengadilan untuk melanjutkan kebijakan Remain in Mexico. Baik Pemerintah AS maupun Meksiko kemudian setuju untuk kembali memberlakukan ketentuan tersebut.

Selain itu, Pemerintah AS yang dipimpin Biden saat ini juga mempertahankan satu kebijakan perbatasan lainnya di era Trump, yang dikenal sebagai Title 42. Dengan aturan di dalamnya, dimungkinkan pengusiran cepat terhadap migran dilakukan dengan alasan kesehatan masyarakat.

Mantan Presiden AS Donald Trump memperkenalkan program tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Protokol Perlindungan Migran, untuk mengirim lebih dari 60.000 pemohon suaka kembali ke Meksiko. Pada akhirnya, migran sering dibiarkan menunggu di negara Amerika Latin tersebut selama berbulan-bulan, di mana mereka terkadang menjadi target kejahatan organisasi kriminal.

Menurut badan amal Human Rights First, ada lebih dari 1.500 kasus penculikan, pemerkosaan, penyiksaan dan pelanggaran lain yang dilaporkan ke publik terhadap para migran yang kembali ke Meksiko. Biden menangguhkan program itu segera setelah resmi menjabat, sebagai bagian dari janji kampanye untuk membalikkan kebijakan imigrasi garis keras yang diberlakukan oleh Trump.

Namun, pada Agustus seorang Hakim pengadilan federal AS, Matthew Kacsmaryk memutuskan bahwa pemerintahan Biden telah membatalkan kebijakan tersebut dengan tidak semestinya. Pemerintahan Biden mengajukan banding atas keputusan tersebut.

Juru bicara pers Gedung Putih, Jen Psaki mengatakan pada Kamis (2/12), bahwa presiden mendukung pernyataan tentang dampak yang tidak dapat dibenarkan dari program tersebut. Namun, bagaimanapun ia menegaskan bahwa Pemerintah AS harus mengikuti hukum.

Kebijakan tersebut telah diubah untuk mengatasi kekhawatiran Meksiko, termasuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk setiap permohonan suaka hingga enam bulan. Implementasi diharapkan akan dimulai minggu depan di pelabuhan di Texas dan California.

Sementara itu, Dewan Imigrasi Amerika menolak klaim bahwa Pemerintah AS yang dipimpin Biden dapat mengelola program tersebut dengan cara yang lebih baik. Pihaknya mengatakan bahwa ini adalah hari yang gelap bagi supremasi hukum negara itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement