REPUBLIKA.CO.ID, Para hadirin telah berkumpul di gedung berformat theatre, di Istanbul Congress Center, Turki. Fuat Oktay, wakil presiden Turki, berjalan diiringi para pengawalnya. Wajahnya terus mengembangkan senyum dan menyapa satu per satu hadirin yang duduk di barisan paling depan. Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel, mendapat kehormatan duduk di kursi kehormatan tersebut. Ia hadir atas undangan Yunus ETE, presiden World Halal Summit Council.
Di gedung eksibisi itu berlangsung World Halal Summit ke-7 dan OIC Halal Expo ke-8. Dua acara ini berlangsung pada 25-28 November 2021. Penyelenggaranya adalah The Islamic Centre for Development of Trade (ICDT), Organisasi Konferensi Islam (OKI/OIC), dan The Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC). Temanya adalah New Era and New Normals: Necessity of Halal Production and Consumption. Konferensi diikuti 55 negara dengan 61 pembicara. Sedangkan pameran diikuti 378 peserta dari 33 negara dengan pengunjung 34.865 orang dari 94 negara. Indonesia mengikuti pameran ini dengan membuat stan yang cukup besar, memamerkan beragam produk Indonesia.
Fuad Oktay membuka konferensi dan pameran tersebut. Sedangkan Presiden Recep Tayip Erdogan memberikan sambutan secara virtual. Turki di bawah Erdogan terus menggeliat memajukan ekonomi. Walaupun lebih dari 90 persen wilayahnya berada di benua Asia, tapi Turki memilih masuk ke benua Eropa. Hal ini membawa banyak keuntungan, terutama untuk alih teknologi. Produk elektronika, kendaraan bermotor, dan juga barang-barang fesyen Eropa banyak diproduksi di Turki. Keunggulan ekonomi ini dimanfaatkan Turki untuk ikut menghela ekonomi halal negara-negara Timur Tengah dan negara-negara muslim di dunia. “Potensi ekonomi halal mencapai 7 triliun dollar AS. Ini pasar yang besar,” kata Fuat dalam sambutannya. Angka ini sudah jauh meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 4 triliun dollar AS. Dan pada 2024 diperkirakan akan mencapai 11 triliun dollar AS. Sayangnya, produsen halal dunia masih dikuasai negara-negara dengan penduduk Islam minoritas, yaitu Brasil, Australia, Prancis, Jerman, dan Selandia Baru. Ironisnya, kampanye produk halal di Indonesia masih dinilai sebagai upaya pemaksaan SARA oleh sebagian pelaku usaha dan politisi. Mereka tidak melihatnya sebagai peluang pasar, tapi justru memotretnya dari sisi politis. Seorang konglomerat jamu tanpa sungkan-sungkan mengungkapkan hal itu dalam diskusi di sebuah grup jejaring sosial.
Usai mengikuti acara pembukaan, Gobel menuju ruang pameran. Ia melihat-lihat produk yang dipamerkan oleh negara-negara lain, berdialog dengan badan standardisasi halal Turki, dan paling lama berada di stan Indonesia. Ia menyaksikan tarian Gorontalo, berdialog, dan juga berfoto bersama. Produk-produk Indonesia yang dipamerkan mulai dari herbal, rempah, kopi, hingga tekstil dan handicraft. Para peserta pameran dari Indonesia menyatakan puas karena produk Indonesia mendapatkan respons yang baik dari pengunjung.
Saat Gobel berkunjung ke Belarusia, para pejabatnya dengan bangga menyampaikan bahwa produk-produk yang mereka pasarkan di Indonesia telah memiliki sertifikat halal. Negeri bekas pecahan negeri komunis Uni Soviet itu memang salah satu negara produsen pangan dunia, khususnya untuk produk susu dan olahan susu.
Suatu waktu, saya ke Jepang dan berjalan-jalan di kawasan perbelanjaan mewah di Ginza. Saya memasuki toko tas kulit. Saat saya akan memegang tas, penjaga toko yang semula berdiri agak jauh, segera berlari dan menyerobot tas tersebut. Ia memeluknya dengan erat. “Anda muslim kan?” katanya dengan Bahasa Inggris. Saya balik bertanya, “Dari mana Anda tahu saya muslim.” Ia menjawab, “Anda pasti orang Melayu.” Lalu saya bertanya lagi mengapa ia merenggut tas dari jangkauan saya. “Ini terbuat dari kulit babi. Agama Anda melarangnya,” katanya. Rupanya ia memiliki pemahaman yang baik tentang toleransi dan melindungi konsumennya dari membeli barang yang tak semestinya.
Dari penjelasan pejabat Belarusia dan dari perilaku penjaga toko di Jepang ada dua hal penting. Pertama, memahami makna potensi ekonomi yang bisa didapat dengan melakukan sertifikasi halal. Kedua, memahami makna melindungi konsumen dari mendapatkan barang yang tak semestinya. Berniaga tak hanya mencari untung tapi juga membangun kepercayaan dan menghargai tata nilai yang diyakini tiap manusia. Penduduk muslim di dunia ada 1,86 miliar jiwa. Ini pasar yang sangat besar. Demikian pula ada sekitar 90 persen penduduk muslim Indonesia dari total 270 juta jiwa.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pada pasal 4 UU tersebut memang mengatur kewajiban bersertifikat halal. Namun tak ada ketentuan sanksi bagi yang tak melakukan sertifikasi. Yang ada adalah sanksi bagi yang telah melakukan sertifikasi, yaitu tentang ketentuan label halal dan tentang ketentuan untuk menjaga kehalalan produknya bagi yang telah mendapat sertifikat halal. Regulasi ini sangat moderat dan memberi keleluasaan pada produsen sekaligus memberi ruang jaminan yang secukupnya pada konsumen. Selanjutnya adalah masalah kesadaran dan pilihan.
Selain itu, ketentuan Pasal 4 tentang kewajiban besertifikat halal memiliki tenggat yang longgar. Untuk produk makanan dan minuman diberi waktu hingga 17 Oktober 2024, sedangkan untuk selain itu diberi waktu hingga 2026. Hingga tahun 2020, baru 4,13 persen produk Indonesia yang memiliki sertifikat halal. Jumlah yang masih sangat rendah.
Jadilah Produsen
Wardah, sebuah brand kosmetika Indonesia, mengawali usahanya dengan label halal. Kini, produk Wardah menjadi raja kosmetika di Indonesia. Ia tak hanya mengalahkan produk kosmetika nasional yang lebih dulu hadir tapi juga bisa mengalahkan produk kosmetika asing. Hal ini mestinya bisa menjadi rujukan bagi pengusaha lainnya dalam memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi konsumennya serta dalam melihat peluang pasar yang menggiurkan.
Gobel mengatakan, dalam ajaran Islam, hal-hal yang dikonsumsi dan dikenakan orang Islam bukan hanya harus halal tapi juga harus thayib. “Jadi bukan hanya soal subtansi tapi juga menyangkut metode dan tata cara. Jadi maknanya sangat luas. Misalnya ia juga harus sehat, ramah lingkungan, dan menjaga kelestarian alam,” katanya. Dalam konteks perubahan iklim dan pemanasan global, ajaran halal dan thayib ini menjadi kontekstual dan relevan.
Namun Gobel mengingatkan bahwa Indonesia jangan hanya dilihat negara lain sebagai target market produk halal. Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan potensi pasar yang besar pula. Indonesia harus bisa menjadi produsen produk halal bagi dunia. Pangsa pasar produk halal yang mencapai 7 triliun dollar AS pada tahun ini dan menjadi 11 triliun dollar AS pada 2024 merupakan potensi yang menggiurkan untuk bisnis. Produk halal itu bukan hanya makanan dan minuman, tapi juga tekstil, kosmetika, obat-obatan, pertanian, fesyen, keuangan, turisme, dan lain-lain.
Saat berbicara di Kongres Nasional ke-41 Syarikat Islam pada Sabtu, 4 Desember 2021, Gobel mengingatkan agar umat Islam fokus pada dakwah ekonomi halal. “Bukan sebagai konsumen, tapi sebagai produsen,” katanya. Ada dua pilihan yang bisa dimasuki dan relevan dengan kondisi Indonesia dan kondisi umat Islam Indonesia. Pertama, sektor pangan. Kedua, sektor herbal. Indonesia dianugerahi tanah yang subur, laut yang kaya, dan iklim yang bersahabat. Dengan demikian, Indonesia bisa menghasilkan tanaman pangan, air berlimpah, dan ikan yang banyak. Dengan demikian, Indonesia bisa menjadi produsen pangan dunia. “Ingat, dulu Belanda datang menjajah Indonesia bukan untuk mencari tambang tapi mencari rempah-rempah. Keanekaragaman rempah Indonesia sangat luar biasa. Ini bisa menjadi produk herbal, parfum, dan lain-lain. Kita kembali kepada kekuatan sejati kita,” katanya.
Pada forum itu, Gobel kembali mengingatkan tentang pasar herbal dunia yang mencapai Rp.900 triliun. “Indonesia baru bisa mengisi satu persennya saja. Baru Rp 9 triliun. Jadi potensinya masih terbuka luas,” katanya. Karena itu ia berharap umat Islam sebaiknya fokus ke dakwah ekonomi. Bukan dalam arti penyadaran belaka, tapi benar-benar menjadi produsennya. “Jangan jadi konsumen terus,” katanya.