Sabtu 11 Dec 2021 17:45 WIB

Warga yang Memilih Menjauh dari Puncak Abadi Para Dewa

Semeru mengeluarkan asap, dan sempat terdiam sejenak sebelum memuntahkan lahar.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Puncak Gunung Semeru alias Mahameru di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Puncak Gunung Semeru alias Mahameru di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Puncak Abadi Para Dewa, sepenggal lirik lagu yang ditulis oleh grup band Dewa 19 berjudul Mahameru, bisa menjadi gambaran betapa istimewa Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Judul Mahameru itu merupakan sebutan untuk puncak gunung yang memiliki ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl).

Gunung Semeru, juga memiliki julukan lain yang bermakna dalam, yakni Paku Pulau Jawa. Jonggring Saloko, sebutan untuk kawah Gunung Semeru, pada 4 Desember 2021 memuntahkan material vulkanik disertai awan panas. Amarah yang meletus dari Puncak Abadi Para Dewa itu, menghancurkan sejumlah wilayah yang ada di kaki gunung yang berlokasi di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Baca Juga

Kawasan Umbulan, Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, merupakan salah satu wilayah terdampak semburan awan panas dan material vulkanis Gunung Semeru. Salah seorang saksi mata yang merupakan warga Dusun Sumbersari, Jali (50 tahun) mengatakan, meletusnya Gunung Semeru hampir merenggut nyawanya.

Saat itu, Jali harus menyelamatkan diri dan berlindung material abu vulkanik yang menghujani kawasan kampungnya. "Saya beruntung melihat ke arah Semeru. Pada saat akan mengambil motor, saya tidak bisa melihat apa-apa. Saya berjalan kaki dan menutup mata, sudah tidak lagi berharap hidup," kata Jali saat ditemui di tempat pengungsian Kabupaten Lumajang, Sabtu (11/12).

Dahsyatnya letusan Gunung Semeru kali ini, menyisakan jejak kehancuran di permukiman dan area pertanian yang selama puluhan tahun menjadi tempat bergantung hidup Jali dan ratusan warga Umbulan. Sebanyak 20 hektare lahan pertanian rusak diterjang lahar Gunung Semeru. Selain itu, puluhan rumah yang berjajar di kawasan Umbulan, menjadi saksi bisu kuatnya letusan Gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu (4/12) pukul 15.20 WIB itu.

Rumah-rumah itu, sebagian hancur total tertimbun material vulkanik. Namun, ada juga bertahan meski kondisinya tak sempurna. Rumah-rumah itu, berdiri puluhan tahun dan hidup berdampingan dengan sang raksasa Semeru yang hingga kini berdiri tegak tanpa lawan. Namun kini, rumah-rumah itu hanya tersisa sebagian.

Rumah itu, tak lagi mampu menjadi tempat tinggal yang aman bagi warga sekitar.Usai letusan terjadi, ada sejumlah warga yang memutuskan untuk kembali ke rumah atau sisa dari bangunan rumah mereka. Mereka hanya terdiam saat melihat rumah yang ditinggali selama puluhan tahun itu, lenyap tertimbun material vulkanik.

Salah seorang warga Dusun Sumbersari, Girah (35), bersama ayah, ibu, suami dan anaknya kembali titik di mana dahulu rumah mereka berdiri. Ia bersama keluarganya, mencoba untuk menyelamatkan sejumlah barang berharga yang tertinggal. Saat kawah Jonggring Saloko bergemuruh, Girah mencari suaminya yang saat itu sedang bekerja untuk mengambil pasir.

Suami Girah, berada pada jalur banjir lahar erupsi Gunung Semeru kali ini. Ia dan keluarga, akhirnya selamat dan dalam kondisi sehat. "Saat itu saya berlari mencari suami saya, saya berteriak, tidak usah bekerja. Kemudian, orang-orang berlarian, gunungnya meletus," ujar Girah sembari berkaca-kaca.

Erupsi kali ini, merupakan letusan yang memberikan dampak paling besar di wilayah Umbulan. Pada tahun sebelumnya, gunung tertinggi di Pulau Jawa itu juga mengalami erupsi, namun tidak memberikan dampak yang dahsyat seperti yang terjadi saat ini.

Sementara warga lainnya, Sirun (75) juga menjadi saksi dahsyatnya letusan Gunung Semeru kali ini. Pada saat kejadian, ia sedang berada di rumah. Semeru beberapa kali mengeluarkan asap, dan sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memuntahkan lahar.

Saat itu, cuaca di Umbulan mendung. Sirun mengingat betul kejadian yang merusak rumahnya itu. Bersama warga lainnya, Sirun dan istri serta anaknya, berusaha untuk menyelamatkan diri mengendarai sepeda motor miliknya. "Saat meletus, saya berada di rumah. Semeru sempat terdiam sejenak, kemudian cuaca mendung. Saya takut untuk kembali ke sini," kata Sirun.

Rumah Sirun masih berdiri dengan menyisakan luka. Kaca rumah miliknya pecah, sebagian tertutup abu vulkanik. Bagian belakang bangunan rumah miliknya hancur. Ia bersama anak dan sejumlah relawan berusaha mengambil sepeda motor miliknya yang tertimbun reruntuhan.

Kasian (50) warga terdampak letusan Gunung Semeru lainnya, juga bernasib serupa. Rumahnya hancur, tidak lagi bisa ditempati. Saat ini, ia dan keluarganya tinggal di pengungsian yang ada di Posko Pengungsian Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Supiturang. "Saya tidak tahu harus bagaimana dan berharap apa. Rumah saya rusak, hanya bisa pasrah," ujarnya.

Menjauh untuk selamat

Warga terdampak letusan Gunung Semeru tersebut, memiliki satu keinginan yang sama, tinggal di tempat yang aman. Namun, tetap berdampingan dengan gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Masyarakat, tetap bergantung nasib pada Semeru. Girah, Sirun, dan Kasian sama-sama merasa takut untuk kembali tinggal dalam jangkauan gunung yang memiliki kawah berjuluk Jonggring Saloko itu.

Namun, mereka tetap berharap bisa bekerja sebagai petani di lahan-lahan yang ada di sekitar wilayah tersebut. Keterikatan masyarakat dengan Gunung Semeru tidak mudah untuk dilepaskan begitu saja. Hidup selama puluhan tahun dan bergantung pada tanah subur di sekitar gunung tersebut, merupakan satu-satunya cara mereka untuk bertahan hidup dan menggapai impian mereka.

Hanya saja, meskipun memang tidak mudah untuk menjauh dari Semeru, keselamatan selalu menjadi hal yang utama. Ketiganya, berharap pemerintah bisa segera melakukan langkah relokasi warga yang terdampak letusan Gunung Semeru.

"Kalau dipindahkan, saya tentunya mau, takut berada di sini. Tapi, saya berharap tidak terlalu jauh dari sini, yang penting aman dan paling penting saya tetap bisa bekerja di dekat Semeru," kata Kasian.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang bergerak untuk segera menyiapkan langkah relokasi bagi warga terdampak letusan Gunung Semeru. Bupati Lumajang Thoriqul Haq saat berada di Kecamatan Pronojiwo, menyatakan sedang melakukan pemetaan.R encananya, pemerintah akan menggunakan lahan milik pemerintah daerah atau Perum Perhutani.

Biaya untuk pembangunan rumah warga pada lokasi relokasi tersebut, nantinya akan menggunakan pendanaan dari pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Kami sedang mencari titik-titik lahan yang dimiliki negara, baik itu Perhutani maupun lahan pemda. Nanti dibangun (menggunakan) APBN," kata Thoriq.

Sementara itu, pada Jumat (10/12), Komando Posko Tanggap Darurat Bencana Dampak Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru, Kolonel inf Irwan Subekti, mengatakan, relokasi warga terdampak akan dilakukan di dua lokasi. Untuk warga terdampak yang ada di wilayah Kecamatan Pronojiwo, akan direlokasi ke area Desa Oro-Oro Ombo.

Sementara untuk warga yang ada di wilayah Kecamatan Candipuro, akan dipindahkan ke Desa Menanggal. "Saat ini sudah dilaksanakan persiapan-persiapan, tinggal menunggu pekerjaan dilakukan," kata Irwan.

nya.Relokasi warga terdampak, sejatinya bukan hanya memindahkan tempat tinggal semata. Namun, perpindahan warga dari satu titik ke titik lainnya, juga akan memiliki dampak terhadap mata pencaharian mereka. Selama puluhan tahun warga Desa Sumbersari, Kecamatan Pronojiwo, kebanyakan bekerja sebagai petani, peternak atau sebagai penggali pasir.

Kedekatan mereka dengan Gunung Semeru, perlu menjadi pertimbangan serius saat pelaksanaan relokasi. Meskipun warga telah direlokasi pada tempat yang aman, namun apabila jauh dari sumber pendapatan akan menjadi permasalahan baru. Tempat aman dan mampu menjangkau sumber mata pencaharian, adalah keinginan dan harapan warga terdampak letusan sang Mahameru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement