Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kamboja memegang keketuaan perhimpunan negara Asia Tenggara (ASEAN) pada 2022 mendatang melanjutkan tongkat estafet yang sebelumnya dipegang oleh Brunei Darrusalam.
Namun, belum lama menerima tongkat kepemimpinan ASEAN pada Oktober lalu, Kamboja mengambil langkah kontroversial. Langkah tersebut terkait dengan pendekatan Phnomp Penh untuk mengundang junta Myanmar dalam agenda-agenda ASEAN.
Hal itu terlihat nyata dari pertemuan yang digelar antara Menteri Luar Negeri pro-Junta Myanmar Wunna Maung Lwin dan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di Istana Perdamaian di Phnom Penh pada Selasa, 7 Desember 2021.
Hun Sen dalam pernyataannya mendorong agar Myanmar kembali dilibatkan dalam pertemuan. Ia berencana mengunjungi Naypyidaw untuk bertemu dengan Jenderal Min Aung Hlaing pada Januari mendatang. Salah satu yang menjadi landasan Kamboja yakni, mengutip konvensi lama ASEAN perihal kebijakan non-intervensi dalam urusan masing-masing negara.
Pandangan Hun Sen ini tentu bertolak belakang dengan sikap ASEAN yang menyepakati lima konsensus di Jakarta pada April lalu. ASEAN menilai Myanmar tidak menjalankan kesepakatan yang telah disetujui.
Salah satunya yakni terkait dengan sikap Junta Myanmar yang tak mau mengizinkan utusan ASEAN untuk bertemu dengan berbagai pihak bertikai, termasuk Aung San Suu Kyi. Myanmar juga melakukan beragam tindakan kekerasan terhadap aktivis yang menentang aksi kudeta militer.
Atas dasar itu, ASEAN memutuskan untuk tidak mengudang Myanmar dalam pertemuan-pertemuan resmi. Hanya utusan non-politik yang berhak hadir. Hingga kini keputusan itu belum berubah.
Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi dalam pernyataan terakhirnya pun menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk terus berkontribusi agar kesepakatan ASEAN Five Poin Consensus dapat diimplementasikan. Tidak ada perubahan terkait dengan kesepakatan tersebut.
Oleh karena itu, berkaca dari sikap Hun Sen, terlihat bahwa polarisasi masih mengancam ASEAN. Memang belum jelas di balik motif Hun Sen merangkul kembali Junta Myanmar. Apakah karena inisiatif mereka sendiri untuk mendorong penyelesaian konflik Myanmar? Atau memang ada pihak lain di balik ide tersebut?
Sebagaimana diketahui Kamboja merupakan negara yang memiliki kedekatan dengan China. Hun Sen memiliki sejarah panjang dengan Beijing. Negeri Tiongkok menjadi negara pertama yang mengakui pemerintahan Hun Sen menyusul kudeta pada era 1997. Saat itu Hun Sen dikucilkan dunia internasional. Sebaliknya, China melakukan investasi besar-besaran dan semakin menancapkan pengaruhnya di sana.
Begitu pun dengan Myanmar yang selama ini juga menikmati hubungannya dengan China. Ada kepentingan mendasar bagi Beijing agar Myanmar stabil dan tidak dikuasai Barat. Apalagi kedua negara tersebut saling berbatasan.
Memang China belum pernah menyatakan pernyataan resmi apakah akan mendukung Junta atau tidak. Mereka hanya mengatakan akan bekerja sama dengan ASEAN terkait persoalan Myanmar tersebut dan mengedepankan prinsip nonintervensi.
Namun sempat beredar kabar bahwa Beijing melobi negara ASEAN termasuk Indonesia agar junta Myanmar bisa hadir dalam pertemuan KTT ASEAN-Chna beberapa waktu lalu. Sumber Reuters menyebut Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei menolak rencana tersebut.
Di sisi lain, AS sudah secara tegas menentang rencana Hun Sen untuk mengundang Myanmar dalam pertemuan ASEAN. Washington yang selama ini saling berebut pengaruh dengan China di Indo-Pasifik tak ingin ASEAN memberikan pengakuan terhadap Junta Myanmar yang telah melakukan kudeta dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kehadiran Menlu AS Anthony Blinken ke Indonesia, Malaysia, dan Thailand pekan ini diyakini juga akan menyinggung soal Myanmar. Di Asia Tenggara, Amerika Serikat juga mempunyai sekutu utama yakni Filipina. AS pun melihat Indonesia yang merupakan negara demokrasi berpotensi untuk menjadi sekutu terkait dengan masalah tersebut.
Kesolidan diuji
Di sinilah, kesolidan negara-negara ASEAN diuji. Apakah negara-negara ASEAN bisa solid dan kompak dalam menyelesaikan urusan mereka? Atau negara-negara ASEAN hanya dijadikan proksi oleh negara tertentu untuk menancapkan pengaruhnya.
Apa yang diwacanakan Hun Sen ini diyakini akan menjadi perdebatan sengit ke depan. Karena dengan mengundang junta Myanmar ke pertemuan resmi, maka secara langsung akan mengakui pemerintahan Junta.
Kehadiran Junta juga seolah menegaskan bawah ASEAN memaklumi beragam persoalan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Padahal, masalah hak asasi manusia ini telah menjadi sorotan dunia internasional, di luar negara-negara Asia Tenggara.
Memang jika mengacu pada nilai lama, ASEAN tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara anggota. Namun di dalam Piagam ASEAN terakhir yang disepakati dimasukan unsur komitmen pada hukum, pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, dan pemerintahan yang konstitusional.
Nilai-nilai inilah yang dipegang Indonesia sebagai pegangan dalam menyelesaikan masalah Myanmar. Begitu juga Malaysia dan Brunei yang sejak awal mendorong dialog semua unsur bertikai di Myanmar. Perdebatan ini akan semakin memanas ke depan.