REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Pada hari ini, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) resmi terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 dalam Sidang Pleno V Muktamar ke-34 NU di Gedung Serbaguna Universitas Lampung (Unila), Bandar Lampung, Jumat (24/12) pagi. Dalam proses penghitungan suara, kiai yang biasa dipanggil Gus Yahya ini berhasil memperoleh 337 suara. Sedangkan calon ketum PBNU petahana KH Said Aqil Siroj hanya mendapatkan 210 suara. Adapun satu suara dianggap batal.
Mulai hari ini, masa depan jamiah NU tersemat di bahunya. Beban ini berat, meski itu jelas mulia. Mulai dari soal agama hingga ekonomi umat. Mulai dari mendamaikan perpecahan publik yang memakai isu agama untuk saling mengolok, soal politik ekonomi umat, hingga kebangkitan pendidikan dan penguatasan sumber daya manusia menjadi hal yang semakin penting, bahkan tak bisa dihindarkan.
Memang perhatian bagaimana meningkatkan ekonomi warga nahdilyin agar bisa terus bangkit dan bertahan pada masa pandemi menjadi salah satu soal utama. Soal lainnya adalah keseriusan menata pendidikan di kalangan NU. Bagaimana pola pendidikan NU, misalnya, melalui mengurus pendidikan Ma'arif, yang terus menguat. Bagaimana soal pendidikan di pesantren yang harus semakin diberdayakan. Dua momen krusial ini adalah yang terpenting. Malah bisa dianggap jauh lebih strategis daripada soal-soal politik praktis.
Syukurlah Gus Yahya sudah jauh-jauh hari mengatakan pada Pilpres 2024 tak ada capres/cawapres NU. Tampaknya ini belajar dari situasi saat ini di kalangan Nahdliyin yang menggelisahkan. Semangat kembali ke khitah 1926 sekarang menjadi terasa abu-abu dan banyak memicu kontroversi di kalangan ulama, kiai, dan santri. Padahal ada 'sayap NU' yang berkewajiban memelihara kepentingan politik nahdliyin, misalnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada sisi pendidikan, misalnya, terlihat jelas pendidikan NU yang mulai menggeliat penuh semangat. Di mana-mana sekolah Ma'arif mendapat limpahan murid yang besar. Hari-hari ini jelas tak terbayangkan bila sekolah NU--berangkat dari pengalaman pribadi--punya murid yang melebihi sekolah negeri. Gedungnya sudah sangat bagus. Tenaga pengajarnya kian mumpuni setelah warga NU banyak mengenyam pendidikan tinggi.
Adapun yang paling unik, meski fasilitasnya bagus, sekolah Ma'arif tak berbiaya mahal mencekik leher. Memang boleh dikatakan 'bahan baku muridnya' tak sebaik sekolah negeri, tapi ini adalah rahmat sebab sekolah ini mampu menjadi tempat pendidikan yang sebenarnya. Menampung kalangan mereka yang memang 'tak serius sekolah' karena ada berbagai soal, dari kemampuan ekonomi hingga problema sosial lainnya.
Seorang kepala sekolah Ma'arif misalnya mengakui bila 'bahan baku' siswanya boleh dibilang tak terlalu bagus. "Oke bisa disebut begitu. Tapi ini justru mulianya, membuat siswa yang dianggap tak pintar menjadi pintar. Dan ingat mereka tak pintar karena keadaan lingkungan sosial yang masih abai pendidikan karena dia berasal dari keluarga tak mampu, anak TKI, anak pekerja kasar, anak kaum urban di mana si anak ditinggal di kampung sementara orang tua di kota hingga mancanegara untuk cari rezeki. Kalau anak dari kalangan keluarga mampu pintar itu wajar, tapi kalau anak dari keluarga biasa pintar, bagi kami luar biasa. Ketika melihat dan bisa mendidiknya merasa sebuah keajaiban," kata Siti Rohmah SE, MPD, wakil kepala Sekolah Ma'arif Sembilan Kebumen.
"Kepada para siswa Ma'arif selalu kami katakan, para guru bisa memberi kalian nilai pelajaran bagus, tapi kami tidak akan memberi ampun bila akhlak kalian buruk. Kamu pintar, tapi akhlaknya tidak baik bakal tak akan lulus. Membuat anak berakhlak baik itu tujuan utama kami. Baru kemudian pintar," kata kepala sekolah itu.
Dia mengatakan, pemerintah seharusnya dalam hal ini melihat institusi pendidikan Nahdliyin dengan serius. Sebab, pendidikan inilah yang nyata-nyata membantu pemenuhan pendidikan kaum yang bisa dianggap belum beruntung. "Sekarang saya tanya, siapa yang mengurusi pendidikan mereka yang jelas karena tuntutan keadaan menjadi terabaikan? Mereka kan seharusnya tanggung-jawab negara. Dan jumlah siswa seperti ini sangat besar. Jadi, kamilah yang membantu negara dalam hal ini. Maka tolong perhatikan kami secara serius."
Maka, memang ke depan perhatian kepada pemberdayaan pendidikan NU tak bisa ditawar. Kepentingan politik hanya membuat terpecah. Hanya memunculkan kubu-kubuan yang sebenarnya tak terlalu tepat: NU struktur dan nonstruktur. Ini istilah sedikit serampangan bila dilihat dari latar belakang pendirian NU yang merupakan sebuah lembaga otonom kalangan pesantren. Struktur itu hanya merupakan pengikat belaka. Sekarang terlihat dipecah-pecah bahkan dibenturkan karena hanya soal sebatas kepentingan politik kekuasaan.
NU masa kini tak perlu melakukan politik 'uzlah' seperti pada masa lalu. NU juga tak perlu terlalu kuyup dalam politik. Namun, semua itu harus dilakukan secara proporsional dengan menghindari perpecahan di kalangan warganya. Kita tak ingin NU dengan institusi pendidikan ala pesantrennya pada masa datang hanya jadi artefak benda antik. Kita tak ingin anak cucu kita ketika datang ke sebuah pesantren layaknya pergi berdamawista melihat situs sejarah seperti melihat aneka bangunan kastil tua di Eropa!
Dan kami yakin Gus Yahya bisa!