Rabu 29 Dec 2021 20:03 WIB

Mengapa Islam Larang Telantarkan Anak dan Istri?

Menelantarkan anak dan istri termasuk perbuatan yang dilarang Islam

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Menelantarkan anak dan istri termasuk perbuatan yang dilarang Islam. Ilustrasi keluarga anak istri
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Menelantarkan anak dan istri termasuk perbuatan yang dilarang Islam. Ilustrasi keluarga anak istri

REPUBLIKA.CO.ID, — Ketika Anda memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga, maka sebagai suami Anda telah wajib untuk menanggung sandang, pangan, papan daripada orang-orang yang menjadi tanggungan Anda yaitu istri dan anak-anak Anda. 

Jangan sampai Anda teledor dalam menafkahi istri dan anak-anak Anda. Misalnya gaji atau keuntungan usaha Anda tidak diberikan untuk menafkahi istri dan anak-anak Anda.

Baca Juga

Atau Anda tidak berusaha sama sekali untuk bekerja demi menafkahi anak istri, Anda menelantarkan istri dan anak-anak Anda sehingga mereka sengsara dan mengandalkan bantuan orang lain.

Maka kondisi seperti ini, yaitu suami yang teledor atau menelantarkan istri dan anaknya dengan tidak menafkahinya maka sejatinya suami itu tengah melakukan perbuatan dosa. 

Sebagaimana disebutkan dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib, Imam Al Mundziri menukilkan sebuah hadits: 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَفَى بِالْمَرْءِاِثْمًاأَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَوَالنَّسَائِ- وَفِى رِوَايَةٍ مِنْ يَعُوْلُ.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah orang itu dosanya yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya (HR. Abu Dawud) dalam riwayat lain : orang yang dia tanggung." 

Maka dari itu setiap orang itu memiliki kewajiban terhadap apa yang diamanatkan padanya. Karena pada dasarnya setiap individu itu adalah pemimpin yang mempunyai tanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. 

Seorang kepala negara adalah pemimpin yang memimpin ratusan juta penduduknya. Maka dia memiliki tanggungan untuk mensejahterakan, menjaga keamanan, menciptakan keadilan, bagi rakyatnya. Maka kepala negara akan dihisab di yaumil hisab tentang kepemimpinannya itu. 

Begitu pun seorang suami, dia menjadi pemimpin dari keluarganya. Dia memiliki tanggungjawab untuk memastikan kebutuhan jasmani dan ruhani istri dan anak-anaknya terpenuhi. 

Tidak mengantarkan anak dan istri. Sebab peran lelaki sebagai suami akan dimintai pertanggungjawaban di yaumil hisab. Sama halnya, seorang istri pun akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dalam memanajemen keluarga, mengasuh anak-anak dan lainnya.  

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اَلْاِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْاَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَاوَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian semua itu ibaratnya orang yang memimpin gembalaan, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Kepala negara, itu adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai rakyatnya. Orang lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya mengenai kepemimpinannya. Orang perempuan (istri) adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya mengenai kepemipinannya. Pembantu (rumah tangga) adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai kepemimpinannya.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement