REPUBLIKA.CO.ID, Disadari atau tidak, upaya penanganan terhadap berbagai persoalan bangsa termasuk stunting atau kekerdilan erat kaitannya dengan keberpihakan secara politis. Tanpa kesadaran yang tinggi dari para elite politis baik di parlemen maupun pemerintahan, sulit rasanya mewujudkan upaya penanganan yang lebih sistematis.
Termasuk, untuk kasus kekerdilan yang terkait langsung dengan ancaman penurunan kualitas sumber daya manusia dalam jangka waktu ke depan. Kekerdilan merupakan masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang, sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.
Bonus demografi yang kelak akan diterima jika tak dikelola dengan baik justru berpotensi menjadi ancaman tersendiri. Terutama jika masalah kekerdilan dan gizi buruk belum sepenuhnya teratasi dengan baik.
Pandemi Covid-19 pun disadari atau tidak akan memperburuk prevalensi kekerdilan di Tanah Air, menjadikan Indonesia dalam ancaman penurunan kualitas sumber daya manusia dalam beberapa generasi ke depan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendorong semakin meningkatnya kesadaran di level para elite politik terkait persoalan kekerdilan di Tanah Air.
Gerakan melawan kekerdilan harus dibudidayakan di kantong-kantong rawan gizi buruk. Di sejumlah daerah kasus kekerdilan dalam beberapa waktu terakhir cenderung mengalami tren yang meningkat.
Angka kekerdilan di Kabupaten Cirebon Jawa Barat misalnya, cenderung meningkat. Menurut sejumlah laporan, angka kekerdilan di ujung timur Jawa Barat naik sejak 2018 hingga 2021. Pada 2018, persentasenya sebanyak 8 persen, pada 2019 ada sekitar 9 persen, pada 2020 ada 13 persen, dan pada 2021 ada 24 persen.
Kekerdilan bukan hanya persoalan tinggi-pendeknya tubuh anak-anak. Tapi dalam jangka panjang kekerdilan bisa mempengaruhi kemampuan belajar dan bekerja anak-anak saat dewasa. Akibatnya, 23-24 tahun ke depan, di usia 100 tahun, Indonesia akan diisi oleh generasi-generasi yang tidak mampu bersaing di kancah global.