REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kreditur maskapai Garuda Indonesia mengajukan klaim penagihan utang hingga sekitar 13,8 miliar dolar AS atau setara Rp 198 triliun (kurs Rp 14.347 per dolar AS). Nominal tersebut merupakan data yang ada dari tim pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Garuda Indonesia.
Berdasarkan pernyataan dari tim PKPU Garuda Indonesia yakni Martin Patrick Nagel dan Jandri Siadari kepada Bloomberg, Senin (10/1/2022), sebanyak lebih dari 470 kreditur pada akhir batas waktu 5 Januari 2022 yang mengajukan klaim. Untuk selanjutnya, tim PKPU akan memverifikasi klaim sementara.
Setelah tahapan verifikasi selesai, tim PKPU akan memutuskan pada 19 Januari 2022. Hal tersebut terkait nominal atau jumlah yang valid dan dapat dimasukkan dalam proses restrukturisasi.
Garuda Indonesia merupakan salah satu maskapai yang telah dilanda krisis. Tantangan tersebut merupakan krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam industri penerbangan karena pembatasan perjalanan selama pandemi membuat lalu lintas penumpang turun signifikan.
Pembatasan yang diperbarui di sejumlah negara setelah varian baru omicron semakin memperumit kondisi yang ada. Seperti di Asia yakni Philippine Airlines sedang mencoba memangkas utang senilai 2 miliar dolar AS setelah keluar dari kebangkrutan. Lalu ada Latam Airlines yang berbasis di Chili dan Avianca Holdings Kolombia yang mencari perlindungan pengadilan pada 2020.
Garuda Indonesia juga sudah mengambil cara untuk mencoba mengulur waktu. Perusahaan sedang berusaha untuk memperpanjang jatuh tempo sukuk dolar AS atau surat utang syariah selama 10 tahun senilai 500 juta dolar AS.
Garuda Indonesia berencana untuk mengurangi kewajibannya lebih dari 60 persen melalui proses restrukturisasi untuk bertahan dari pandemi. Berdasarkan proposal yang diajukan, perusahaan berencana untuk mengurangi kewajibannya dari 9,8 milar dolar AS menjadi 3,7 miliar dolar AS.