REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) mengomentari hasil sejumlah lembaga survei terkait elektabilitas Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. GMPG menilai, rendahnya elektabilitas Airlangga akan berdampak pada citra Partai Golkar.
Inisiator GMPG, Sirajuddin Abdul Wahab, mengatakan elektabilitas Airlangga Hartarto sangatlah memprihatinkan. Berdasarkan survei Voxpol Center, elektabilitas Airlangga hanya 0,8 persen. Sementara survei Indikator Politik Indonesia menunjukan elektabilitas Airlangga sebesar 0,2 persen.
"Selain elektabilitas yang defisit, hal ini diperparah dengan elektabilitas ketua umum yang diusung menjadi Capres yang memprihatinkan dan memalukan," ujar Sirajuddin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Sirajuddin menilai, buruknya elektabilitas Airlangga Hartarto ini berdampak secara sistematik dan epistemik terhadap citra Partai Golkar. Padahal struktur partai dan anggota DPR dari Golkar sudah menebar baliho terhadap Airlangga.
"Namun tidak memberi dampak signifikan, hal ini dapat dianggap bahwa masyarakat tidak tergerak memberikan dukungan, jika ada kenaikan maka kenaikan itu dapat dipastikan sebagai angka yang perlu dipertanyakan sumber dan kridebilitasnya," katanya.
Sirajuddin menuturkan, kondisi ini telah mendevaluasi eksistensi partai di tengah kompetisi elektorasi antar partai, dan Golkar tidak kuat lagi sebagai partai yang terus melahirkan pemimpin-pemimpin muda.
"Tidak lagi melahirkan pemimpin muda, pemimpin daerah yang inovatif, melayani rakyat dan selalu mendengarkan aspirasi dari bawah, melainkan hanya cenderung sebagai alat legitimasi para segelintir penguasa," jelasnya.
Bahkan menurut Sirajuddin, Airlangga juga gagal membawa perubahan signifikan terhadap perolehan suara Partai Golkar di 2019 lalu. "Karena di Pemilu 2019 hanya sebesar 12,31 persen (85 kursi) mengalami penurunan dibandingkan dengan Pemilu 2014 dengan perolehan 14,75 persen (91 kursi) dan Pemilu 2009 sebesar 14,45 persen (107 kursi)," ujarnya.
Sirajuddin menilai mesin Partai Golkar saat ini tidak berjalan maksimal dan tidak dikelola dengan benar. Ini diperparah dengan proses pembangian dan kerja bidang-bidang yang tidak sesuai dengan tupoksi yang profesional.
"Hal ini mengakibatkan absennya penyelenggaraan program kerakyatan Partai Golkar di masyarakat, padahal itu merupakan bagian langkah memperbaiki citra partai di mata publik," ujarnya lagi.