REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah saat ini mewacanakan untuk menaikan tarif kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) Tulus Abadi mengatakan memang ada ruang bagi KAI Commuter untuk menaikan tarif KRL dari sisi ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) namun tetap harus mempertimbangkan sejumlah hal agar tepat.
Meskipun begitu, YLKI memiliki sejumlah rekomendasi terkait kenaikan tarif KRL tersebut. "Merujuk pada Hasil riset yang dilakukan oleh YLKI pada Oktober 2021 terhadap dua ribu responden di Jabodetabek dan Rangkasbitung, dari aspek ATP dan WTP memang ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL menjadi Rp 5 ribu," kata Tulus, Ahad (16/1/2022).
Hanya saja, Tulus menegaskan kenaikan tarif Rp 5 ribu tersebut hanya pada 25 kilometer pertama. Sementara untuk tarif pada 10 km pertama direkomendasikan tetap atau tidak naik karena aspek ATP lebih rendah daripada tarif eksisting.
Tulus menuturkan, untuk mengimbangi penaikan tarif maka peningkatan pelayanan menjadi prasyarat utama. "Sebagaimana aspirasi 1.065 responden atau lebih dari 50 persen agarKAI Commuter meningkatkan pelayanannya," ujar Tulus.
Sementara itu, kata dia, jika dilihat momennya, wacana kenaikan tarif KRL rasional karena sejak 2016 belum pernah disesuaikan. Meskipun begitu, Tulus menegaskan jika pemerintah akan menambah besaran dana PSO pada KAI Commuter, kenaikan tarif tersebut tidak rasional.
"Jika pemerintah tak mampu menambah dana PSO maka opsi penaikan tarif KRL menjadi tak terhindarkan, walau terasa pahit bagi konsumen," tutur Tulus.
Pada tahun ini, Kementerian Perhubungan mengalokasikan anggaran sekitar Rp 3,2 triliun untuk subsidi kereta api. Dari total alokasi tersebut, Rp 3,05 triliun digunakan untuk penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik atau Public Service Obligation (PSO) dan Rp 186,7 miliar untuk subsidi Kereta Api Perintis.
Dalam empat tahun terakhir nilai kontrak anggaran PSO yaitu pada 2018 sebesar Rp 2,27 triliun, 2019 sebesar Rp 2,321 triliun, 2020 sebesar Rp 2,519 triliun, dan 2021 sebesar Rp 3,448 triliun. Dengan begitu anggaran PSO untuk 2022 turun jika dibandingkan alokasi pada 2021 sebesar Rp 3,448 triliun.
“Ada dana pemerintah sekitar Rp 3,2 triliun lebih, dititipkan kepada PT KAI untuk melayani sekitar 250 juta pergerakan orang. Kami akan mengawal agar kegiatan PSO dan subsidi perintis ini bisa dijalankan dengan baik,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (12/1/2022).
Budi menjelaskan, pemberian alokasi anggaran tersebut telah melalui proses diskusi yang panjang dengan KAI. Dia memastikan pemberian subsidi tersebut juga dilakukan secara selektif agar tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
"Kita ingin memberikan kemudahan, kepastian dan keselamatan bagi pengguna jasa kereta api. Untuk itu, unsur keselamatan dan pelayanan prima harus dipenuhi dengan baik,” tutur Budi.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati mengatakan saat ini memang ada wacana untuk menaikan tarif kereta rel listrik (KRL). Dia menuturkan, wacana tersebut didasari beberapa pertimbangan seperti pelayanan yang diberikan pemerintah dengan pemberian subsidi atau pun pembangunan parasarana dan sarana kereta api sudah semakin baik.
“Misalnya, berkurangnya waktu tempuh dan waktu antrean masuk ke Stasiun Manggarai yang sebelumnya memang cukup menghambat," kata Adita dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (13/1/2022).
Selain itu, Adita mengatakan saat ini juga sudah ada pembangunan rel dwiganda, revitaliasi Stasiun Jatinegara, Stasiun Cikarang, Stasiun Bekasi, dan sebagainya. Semua pengembangan tersebut menurutnya telah memberi kemudahan, keamanan, dan kenyamanan kepada konsumen KRL.
Adita menilai, langkah perbaikan tersebut kian gencar dilakukan sejak lima tahun terakhir. "Operator, dalam hal ini PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), juga melakukan peningkatan layanan yang tidak kalah bagus. Misalnya, system ticketing, pelayanan di stasiun dan juga di atas kereta,” tutur Adita.
VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba mengataan, sejumlah lembaga melakukan kajian dalam bentuk survei mengenai kemampuan membayar (ability to pay/ ATP) dan kesediaan membayar (willingness to pay/ WTP) pengguna terhadap tarif KRL Commuter Line Jabodetabek. Hasil kajian berbagai lembaga tersebut menunjukkan ATP dan WTP pengguna KRL lebih tinggi dibanding tarif yang berlaku saat ini.
"Meskipun demikian, hingga saat ini tarif KRL masih tetap berlaku sesuai dengan apa yang telah berjalan lebih dari lima tahun terakhir, yaitu pengguna membayar Rp 3 ribu untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya," ujar Anne.
Anne menambahkan, kajian terhadap tarif KRL selama ini dilakukan berkala sebagai program untuk mengetahui respon masyarakat terhadap tarif, terutama di tengah masa pandemi dimana kondisi perekonomian masyarakat banyak berubah. Anne mengatakan, pada survei yang dilakukan pada 2021 dilakukan terpisah dengan metode yang berbeda oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang Kemenhub), dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (DJKA).
Dari berbagai survei yang dilakukan, Anne mengatakan, telah didapat berbagai usulan mekanisme dan besaran tarif sesuai kemampuan membayar dan persepsi masyarakat terhadap layanan KRL. "Berbagai masukan telah diterima, baik dari lembaga yang mewakili masyarakat maupun para pengguna," tutur Anne.