Selasa 18 Jan 2022 15:42 WIB

Pada Zaman Belanda Cukur Rambut Sampai PSK Open BO Dipajakin

JP Coen menarik pajak rumah pelacuran, judi, tembakau, hingga cukur rambut ditarik pajak.

Rep: Kurusetra/ Red: Partner
.
.

Kampung Cina di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda menarik<a href= pajak dari warga Tionghoa, mulai dari pajak cukur rambut, judi, hingga rumah pelacuran." />
Kampung Cina di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda menarik pajak dari warga Tionghoa, mulai dari pajak cukur rambut, judi, hingga rumah pelacuran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani berkelakar jika artis yang "Open BO" harus membayar pajak. Pernyataan Sri Mulyani itu dilontarkan ketika menjadi tamu di podcast Deddy Corbuzier guna mengomentari kasus prostitusi online.

"... Kemarin saya mendebat tentang sesuatu. Ada yang ketangkep gara-gara prostitusi online, kan gak bisa," kata Deddy.

Sri Mulyani pun menjawab sembari tersenyum, "Bayar pajak gak ya dia?"

Guyonan Sri Mulyani tentang pajak dari prostitusi online sejatinya bukan barang baru di Indonesia. Di era Hindia Belanda ketika Gubernur Jenderal VOC JP Coen memimpin, hampir semua sektor tak luput dari penarikan pajak.

Coen yang lihai memungut pajak mengangkat Souw Beng Kong menjadi Kapitan Cina. Bencon, begitu VOC menyebutnya, menjadi kaki tangannya dalam menarik pajak kepada orang-orang Tionghoa. Belanda menyadari jika warga Cina tergila-gila kepada judi yang hampir digelar di setiap acara, termasuk acara kematian keluarga.

Tak hanya judi, Belanda memperbolehkan rumah-rumah bordil berdiri. Namun tak hanya mengizinkan, Belanda mengambil keuntungan dengan memungut pajak rumah pelacuran atau disebut suhian.

Coen lalu mengeluarkan peraturan pada 9 Oktober 1619 jika orang Cina yang berumur antara 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak sebesar 1,5 reak per kepala. Pajak kepala itu bahkan berlaku hingga hampir tiga abad yakni hingga 1900.

Saat daratan Cina dikuasai Dinasti Mancu, adat istiadat dari negara di bagian utara Korea ini ditularkan kepada negara jajahannya. Maka rakyat Cina mengikuti jejak penjajah.

Rambut bagian atas dicukur sampai licin, dan bagian belakang dipanjangkan kemudian dikepang atawa dikuncir seperti layaknya wanita. Selain disibukkan urusan melicinkan kepala bagian atas yang cepat tumbuh seperti layaknya kita mencukur jenggot, tiap kepala juga dikenai pajak. Sedangkan warga Cina yang berdiam di luar wilayah kota, membayar pajak pada potia yakni kepala atau mandor pengelola perkebunan atau pertanian.

Seperti juga sekarang petugas pajak ada yang bermain dengan pembayar pajak demikian pula terjadi di masa lalu. Masyarakat Cina di Indonesia, terutama generasi mudanya, pernah melakukan perlawanan terhadap keharusan memakai kuncir. Mereka sudah tidak mau melakukannya lagi sejak 1904, meskipun generasi tua menganggapnya sebagai adat lelahur. Kebiasaan ini baru dihapus tahun 1911, ketika Cina sudah merdeka.

Selain itu, masih ada pajak kuku panjang yang menandakan orang kaya yang santai. Juga pajak tembakau dan pemotongan babi. Kalau sekarang pembayar pajak diingatkan melalui surat, ketika itu di kediaman Kapiten Cina dipasang bendera, mengingatkan agar masyarakatnya segera membayar pajak. Sampai sekarang di Jakarta Kota terdapat kampung Tiang Bendera.

Belanda juga mengangkat para kapiten dari berbagai etnis lainnya. Maksudnya agar berbagai etnis di Batavia mengikuti adat istiadat leluhur etnisnya masing-masing. Seperti orang Sunda dan Jawa memperkuat adat istiadat leluhur mereka. Begitu juga dengan etnis-etnis India, Arab, dan Eropa. Tapi dibandingkan etnis Cina, bangsa-bangsa Asia dianggap tidak seberapa penting oleh Belanda.

Setiap kelompok rasial mempunyai pemimpin yang dipilih oleh kelompoknya, yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur jenderal dan diberi tanggung jawab memelihara ketenteraman dan ketertiban di kampung-kampung. Tapi tak ada gengsi dan kekuasaannya yang menyamai kapiten Cina.

Ada dua keuntungan VOC dengan pengaturan warga pribumi yang ditempatkan di luar kastil dan tembok kota. Pertama, sebagai pertahanan kota terhadap serangan dari luar, terutama dari Banten dan Mataram. Dan, kedua, dengan memberikan wilayah tempat bermukimn di luar kota, berarti mengembangkan kota dan pengelolaan pertanian-perkebunan di wilayah tersebut.

Dengan begitu VOC tidak perlu mengeluarkan dana lagi bagi penghidupan mereka. Bersama dengan warga Cina, warga pribumi mengembangkan wilayah pinggiran yang disebut Ommelanden menjadi kawasan yang menghidupi Batavia. Berlainan dengan pemukim Indonesia yang harus menjaga keamanan kota, warga Cina lebih suka memberi konpensasi dengan membayar pajak kepala yang dikenakan kepada mereka selama 1619-1900.

Orang Cina di Batavia yang jumlahnya pernah mencapai hampir separuh penduduk kota terlibat dalam hampir semua pekerjaan: mulai tukang bangunan, pemasok bahan bangunan, tukang besi, tukang kayu, ahli melapis barang-barang emas, sampai kepada perikanan, pembuatan garam serta pertanian dan pengelolaan gula dan tebu.

Seperti halnya opsir Cina, komandan pribumi tidak mendapatkan gaji dari VOC. Mereka hanya terima tunjangan saja. Komandan pribumi juga memegang lisensi untuk memungut pajak. Tetapi jenisnya agak terbatas, yakni pajak pemotongan hewan, pajak berdagang di atas perahu atau kapal, dan pajak pasar ikan.

Berlainan dengan komandan pribumi, para kapiten Cina seperti Souw Beng Kong mengurus masyarakat Cina laksana raja-raja Mandarin. Orang Cina membangun rumah sakit mereka sendiri dan menjalankannya sendiri tidak kalah dengan rumah sakit Belanda kini menjadi Museum Mandiri di depan stasion kereta api Jakarta Kota. Mereka juga membangun sekolah-sekolah yang tidak kalah dengan sekolah yang dibangun Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement