REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dinilai tidak akan berdampak pada pemulihan ekonomi nasional. Chief Economist Bank Syariah Indonesia Banjaran Surya Indrastomo menyampaikan, kondisi likuiditas perbankan saat ini masih sangat longgar dan mendukung penyaluran kredit, pembiayaan pada dunia usaha.
Ia mengatakan, penyaluran kredit atau pembiayaan ini berhubungan terhadap permintaan akan kebutuhan modal kerja sektor usaha, baik ritel maupun wholesale. Sehingga, besar harapan pemulihan ekonomi dapat berlanjut bersama kenaikan penyaluran kredit atau pembiayaan.
"Posisi likuiditas insya Allah tetap ample dikarenakan excess di perbankan yang belum dapat disalurkan relatif tinggi," kata Banjaran pada Republika, Kamis (20/1/2022).
Tingkat alat likuid per dana pihak ketiga (DPK) yang berada di atas level 30 persen juga masih jauh lebih tinggi dari angka rata-rata di kondisi normal. Meski demikian, kenaikan GWM ini dapat berdampak pada kenaikan cost of fund dan mengurangi likuiditas yang beredar.
Dengan kondisi kelebihan likuiditas, beban cost of fund akan meningkat dibanding sebelumnya. Tetapi, ini relatif terbatas terhadap pricing pembiayaan di tengah harapannya memberikan stimulus untuk penyaluran kredit pembiayaan.
"Untuk bank syariah, relatif akan jadi lebih kompetitif dengan kenaikan GWM yang lebih rendah dibandingkan bank konvensional," kata Banjaran.
Tetapi, kembali lagi, tingkat pertumbuhan pembiayaan akan bergantung dengan permintaan terhadap pembiayaan yang menyertai pemulihan ekonomi. Kebijakan forward looking ahead the curve Bank Indonesia juga dirancang untuk memastikan bahwa inflasi bawaan dari luar (imported inflation) tidak sampai ke Indonesia.
Indonesia juga relatif kompetitif dibandingkan negara lain di kawasan. Terutama seperti Thailand dengan tingkat inflasi yang mirip Indonesia, tetapi yield spread tidak setinggi Indonesia dibanding US treasury.