REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Varian Omicron memaksa kampus kembali menggelar kuliah secara online (daring). Walaupun demikian, tak sedikit kampus merasa ragu karena kuliah online tak semudah bayangan.
Dalam Webinar SEVIMA secara online, Selasa (15/2/2022) sore, Prof Mohamad Nasir selaku staf ahli Wakil Presiden Republik Indonesia sekaligus mantan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, mengajak kampus untuk segera menghancurkan tembok penghalang kesulitan pembelajaran daring. Kuliah online tidak bisa ditunda karena pertaruhannya bukan hanya tentang kesehatan, tapi juga perkembangan teknologi.
“Jika kita bisa mempercepat kuliah online dan digitalisasi perguruan tinggi, serta mengintegrasikan seluruh sistem informasi melalui university activities ini, maka kita bisa menyelesaikan masalah besar perguruan tinggi; menghindari penyebaran virus, menghadirkan akses yang inklusif, serta menghadirkan pendidikan yang berkualitas untuk semua. Momentum Pandemi Covid-19 ini menjadi blessing in disguise (berkah tidak terduga) jika kita bisa manfaatkan untuk kemajuan pendidikan,” jelas Prof Nasir didampingi Direktur SEVIMA Ridho Irawan, dan ribuan peserta Komunitas SEVIMA.
Dua tahun belakangan ini, pandemi memang telah mengharuskan perkuliahan secara online. Sayangnya, kesulitan terus dihadapi kampus karena menganggap kuliah online sebagai Distance Learning (perkuliahan dengan jarak). Sehingga, cara mengajarnya sama persis dengan ketika kuliah dilakukan secara offline, namun medianya saja dipindahkan secara online.
“Cara mengajarnya masih sama seperti menggunakan papan tulis. Mahasiswa datang, dosen datang, di waktu yang sama, mendengarkan materi di jam yang sama, melihat layar berjam-jam sampai ada keluhan matanya terasa pedih. Ini bukan kuliah online, ini hanya memindahkan kuliah dengan media komunikasi,” ungkap Prof Nasir mengingatkan, seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Baca juga : Kemenkes: Angka Kematian Covid-19 Varian Omicron Lebih Rendah dari Delta
Percepatan, lanjut Prof Nasir, nantinya perlu dilakukan dengan cara menerapkan kuliah online yang terintegrasi. Atau biasa disebut sistem Learning Management System (LMS). Dengan sistem LMS, dosen bisa berbagi materi, menyelenggarakan kuis dan ujian, serta merekap nilai dan melaporkannya, dalam sekali klik.
Bahkan tidak menjadi soal, jika dosen dan mahasiswa tidak betemu di waktu yang sama. Dosen cukup merekam penjelasannya dan mengunggah soal kuis, lalu mahasiswa bisa mengakses rekaman dan mengerjakan kuis kapan saja.
“Kuliah online yang terintegrasi ini perlu kita percepat. LMS akan memberikan wadah bagi mahasiswa dan dosen untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar secara synchronous (langsung) atau asynchronous (komunikasi terjadwal),” ungkap Prof. Nasir.
Sudah dilakukan di beberapa kampus
Menurut Prof Nasir, banyak sekali keuntungan yang bisa didapatkan dosen dan mahasiswa ketika menerapkan kuliah online yang terintegrasi. Keuntungan ini bahkan sudah terbukti di beberapa kampus.
University of Agder di Norwegia misalnya, saat dikunjungi Prof Nasir pada tahun 2018 lalu, menyelenggarakan kuliah online yang terintegrasi dan bisa diikuti puluhan ribu mahasiswa dari penjuru dunia. Kampus ini bahkan mengajarkan bedah saraf dengan metode Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), di mana mahasiswa bisa menggunakan alat yang menampilkan seolah-olah mereka sedang melakukan operasi bedah secara nyata.
Baca juga : Tetap Jalankan Prokes, Omicron 20 Kali Lebih Menular dibandingkan Delta
Artificial Intelligence dan aplikasinya dalam praktikum dunia kesehatan, berdasarkan Webinar SEVIMA pada Desember 2020 lalu, juga telah diselenggarakan di kampus dalam negeri seperti STIKES Mitra Husada Bekasi dan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Kuliah online yang terintegrasi tidak hanya meringankan tugas dosen, namun juga mempercepat kuliah mahasiswa. Karena belajar dan praktik bisa dilakukan kapan saja (anytime), dan dimana saja (anywhere and anyplace).
“Kuliah blok dokter bedah tema ini yang informasinya mencapai 16 minggu, dengan AI bisa satu sampai dua minggu tuntas. Rasio dosen mahasiswa pun tidak jadi soal, karena satu profesor bisa saja seribu mahasiswa karena semua serba otomatis dengan LMS. Alatnya sudah ada, tinggal kita merubah mindset,” lanjut Nasir.
Rektor Universitas Siber Asia yang juga rektor asing pertama di Indonesia, Jang Youn Cho PhD, juga mengisahkan bagaimana perkuliahan online sukses ia lakukan di kampus dalam konteks Indonesia. Menggunakan Sistem Akademik berbasis Awan (siAkadcloud), Universitas Siber Asia bermitra dengan puluhan institusi publik maupun swasta di Indonesia hingga mancanegara untuk mengembangkan perkuliahan online yang terintegrasi.
Senada, Direktur SEVIMA Ridho Irawan juga menceritakan bagaimana lebih dari 700 kampus se-Indonesia yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA telah menggunakan Sistem Akademik berbasis Awan (siAkadcloud). Tantangan dalam penerapan sistem, ungkap Ridho, pasti sangat beragam seperti yang telah dijelaskan oleh Prof Nasir.
“Walaupun demikian dengan semangat bersama untuk merevolusi pendidikan tinggi, kuliah online yang terintegrasi bisa dilakukan siapa saja dan di mana saja di seluruh Indonesia. Dengan begitu kualitas pendidikan bisa dilakukan secara merata di seluruh penjuru negeri,” tutup Ridho.