Kamis 17 Feb 2022 16:27 WIB

Eks KSAU Jelaskan Mengapa Pembelian 42 Rafale Bisa Sia-Sia

Pengadaan pesawat tempur hanya subsistem pertahanan udara nasional.

Rep: Flori sidebang/ Red: Ilham Tirta
Dassault Rafale
Foto: Anadolu Agency
Dassault Rafale

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan kepala staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengatakan, pengadaan pesawat jet tempur canggih Dassault Rafale sebanyak 42 unit menjadi topik yang menarik untuk dibahas bersama. Apalagi dikaitkan dengan kebutuhan penyegaran alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah dipandang usang, kemampuan uang negara, pilihan jenis pesawat, dan berbagai skenario yang mengiringinya.

Namun, Chappy menuturkan, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah pesawat terbang hanyalah salah satu sub sistem dari sebuah sistem besar bernama sistem pertahanan udara. Dia menjelaskan, sistem pertahanan udara merupakan bagian integral dari sistem national security dan pertahanan negara.

Baca Juga

"Dengan demikian proses pengadaan pesawat terbang tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional. Dalam hal ini unsur pesawat terbang tempur sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub-sub sistem pertahanan udara nasional lainnya," kata Chappy dalam webinar bertema 'Menyongsong Pesawat Rafale', Kamis (17/2).

Menurut Chappy, apabila Indonesia sedang berupaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara, maka masih ada masalah yang lebih mendesak dari pengadaan pesawat terbang tempur baru. Sebab, fakta beberapa wilayah udara di Tanah Air masih berada di posisi yang rawan karena belum sepenuhnya berada dalam kekuasaan Indonesia.

"Realita dari sebagian wilayah udara kita yang berada di posisi rawan di Perairan Selat Malaka, Natuna, dan Kepulauan Riau misalnya, masih belum berada dalam kekuasaan RI. Wilayah udara tersebut sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut China Selatan sekarang ini," ujarnya.

Chappy menjelaskan, wilayah udara merupakan subsistem penting dari konsep pertahanan udara sebagai sebuah sistem. Wilayah udara dan sistem pengendaliannya, kata dia, adalah komponen yang menentukan dalam sebuah konsep pertahanan udara.

"Kedua subsistem yang sangat dominan itu, wilayah udara dan pengendaliannya, justru kini tidak berada di bawah kekuasaan RI. Artinya, menyelesaikan terlebih dahulu wilayah udara kedaulatan kita dan wewenang pengendaliannya jauh lebih urgent daripada sekadar pengadaan pesawat terbang tempur baru," kata dia.

Chappy melanjutkan, wewenang pengendalian wilayah udara kedaulatan yang kini sudah berbasis satelit akan sangat melekat dengan peran command and control system dalam perang modern. Sebab, kini dunia telah berada di tengah era network centric system atau sistem yang berpusat pada jaringan.

Ia menilai, jika wilayah udara dan sistem pengendaliannya belum sepenuhnya berada di tangan Indonesia, maka banyaknya pesawat tempur yang dimiliki akan menjadi sia-sia. Sebab, pesawat tersebut tidak dapat dengan bebas melakukan latihan dan operasi di wilayah udara Indonesia.

"Sebuah masalah rumit yang tengah kita hadapi sebagai akibat dari masalah teknis penerbangan yang diselesaikan pada ranah politik," kata dia.

Saat ini, belum diketahui puluhan pesawat Rafale tersebut akan ditempatkan di mana. Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak pun enggan berkomentar terkait hal tersebut. Ia menyebut, penempatan pesawat tempur menyangkut rahasia pertahanan negara.

"Itu tidak bisa saya jawab, maaf. (Karena) Kan terkait rahasia pertahanan (negara)," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement