REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah meninggalkan efek luka memar yang dalam pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, untuk memulihkan luka tersebut, perlu kebijakan yang dikalibrasi, direncanakan dan dikomunikasikan dengan baik oleh setiap negara.
"Khususnya dalam mendorong produktivitas dan investasi, bersama dengan strategi di bidang ketenagakerjaan dan realokasi modal," katanya dalam seminar isu strategis G20 bertema “Exit Strategy and Scarring Effects Post Covid-19" Kamis (17/2/2022).
Lebih lanjut, Perry juga menyampaikan strategi untuk mengantisipasi kebijakan normalisasi dan efek luka memar. Untuk dampak normalisasi, negara berkembang perlu memperkuat daya tahan dalam menghadapi dampak proses normalisasi sehingga pemulihan ekonomi dan stabilitas tetap terjaga.
Selain itu, kerja sama antarnegara juga perlu diperkuat. Seperti melalui Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA), dan penggunaan Local Currency Settlement (LCS) secara lebih luas untuk mendukung promosi perdagangan dan investasi.
Strategi mengatasi luka memar ini mendorong adanya langkah-langkah yang sinergis dan kolaboratif peran seluruh pihak. Dari sisi korporasi, kontribusi peran dilakukan melalui penguatan strategi bisnis dan perbankan melalui partisipasi kredit atau pembiayaan ke sektor riil.
Sementara peran lembaga-lembaga yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ditempuh melalui kebijakan yang mendorong kredit pembiayaan untuk sektor prioritas. Adapun peran dari sisi pemerintah melalui program reformasi struktural dalam menyediakan iklim investasi yang kondusif, tata niaga, perpajakan, infrastruktur, digitalisasi keuangan dan implementasi UU Cipta Kerja.
"Terkait ini, Bank Indonesia telah melakukan reformasi struktural di pasar keuangan, pendalaman pasar keuangan, digitalisasi sistem pembayaran, dan mendukung upaya pembiayaan bagi ekonomi untuk meredam //scarring effect// tersebut," kata Perry.
Senada dengan hal tersebut, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung, menambahkan, ketidakpastian global seperti inflasi yang tinggi di sejumlah negara mempengaruhi normalisasi yang dilakukan negara maju. Dengan demikian, diperlukan kebijakan untuk menjaga persepsi pasar.
Menurutnya, hal terpenting bagi ekonomi global dan domestik, adalah penanganan pandemi Covid-19 agar luka ekonomi tidak semakin dalam. Lebih lanjut, pandemi berimplikasi pada kesadaran baru pada isu digitalisasi dan perubahan iklim, dan Bank Indonesia telah melakukan langkah untuk mendukung hal tersebut.
Di kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menyatakan bahwa terdapat tiga prioritas agenda Presiden RI terkait presidensi G20 Indonesia. Diantaranya arsitektur kesehatan global, digital ekonomi, dan transisi energi yang seluruhnya memerlukan koordinasi kebijakan antarnegara.
Normalisasi kebijakan berbagai negara akan berdampak bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Menyambung hal itu, Pengajar Cornell University dan Research Scholar BI Institute, Iwan Jaya Azis memaparkan bahwa scarring effect dapat memiliki efek permanen terhadap produktivitas.
"Dengan demikian, antisipasi terhadap dampak jangka panjang scarring effect memerlukan dorongan terhadap sektor manufaktur, dengan meningkatkan keterampilan tenaga kerja," katanya.
Kegiatan seminar ini adalah penyelenggaraan yang bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (Kafegama). Tujuannya memperkuat optimisme serta meningkatkan pemahaman mengenai agenda prioritas G20 sebagai suksesi Presidensi Indonesia dalam G20.