REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat akan mengajukan permohonan sebagai pihak terkait sehubungan dengan adanya permohonan judicial review (JR) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang pria bernama E Ramos Petege yang mengaku gagal menikah karena berbeda agama.
Permohonan ini sebagai bentuk penolakan terhadap JR yang diajukan E Ramos melalui kuasa hukumnya Leo & Partners. Koordinator Kuasa Hukum DDII Abdullah Al Katiri menyatakan JR terhadap UU Perkawinan perlu disikapi dan disanggah agar hakim menolak JR tersebut. Jika JR dikabulkan jelas akan melanggar syariat Islam.
"Jika dikabulkan akan merusak akidah umat Islam karena masalah perkawinan beda agama jelas-jelas dilarang dalam ajaran Islam" kata Abdullah Al-Katiri saat dihubungi Republika, Sabtu (19/2/2022).
Abdullah menyampaikan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 ini sudah sesuai dengan hukum syar'i maupun konstitusi, khususnya Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, ia berharap MK mengabaikan permohonan mereka karena tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Oleh sebab itu kami heran bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini dikatakan oleh pemohon bertentangan dengan konstitusi. Jadi di mana bertentanganya?" ujarnya.
Abdullah berharap pemohon diberikan hidayah sehingga tidak mengganggu kerukunan beragama dengan mencampuradukkan aturan agama yang satu dengan yang lain. Setiap warga negara harus menghormati keyakinan yang dianut oleh orang lain demi teciptanya kerukunan.
Abdullah menyamapaikan, Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 yang dimintakan pemohon untuk berubah yaitu pasal 2 ayat 1 yang sekarang berbunyi "Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaannya." Dan dimohonkan oleh pemohon untuk diganti menjadi "Perkawinan dikatakan sah jika berdasarkan kehendak bebas masing-masing pasangan yang akan menikah."
"Nampaknya pemohon lupa jika negara kita ini adalah negara yang berdasarkan pancasila dan meletakkan Ketuhanan yang Maha Esa itu pada posisi paling tinggi," katanya.
Abdullah menjabarkan Ketuhanan yang maha Esa itu juga tertera dengan jelas dalam Bab 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 yang bunyinya, "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa"
Abdullah memastikan perkawinan itu adalah sesuatu yang sakral dan mempunyai konsekwensi pada sah/halal atau tidaknya suatu ikatan perkawinan. Jadi tidak bisa didasarkan pada kehendak subyektif orang per orang.