Ahad 27 Feb 2022 07:02 WIB

Invasi Rusia ke Ukraina Paksa China Putar Otak

China menolak mengutuk atau menyebut serangan Rusia ke Ukraina sebagai invasi

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Seorang tentara Ukraina berjalan melewati puing-puing truk militer yang terbakar, di sebuah jalan di Kyiv, Ukraina, Sabtu, 26 Februari 2022. Pasukan Rusia menyerbu ke arah ibu kota Ukraina Sabtu, dan pertempuran jalanan pecah saat pejabat kota mendesak penduduk untuk berlindung.
Foto: AP/Efrem Lukatsky
Seorang tentara Ukraina berjalan melewati puing-puing truk militer yang terbakar, di sebuah jalan di Kyiv, Ukraina, Sabtu, 26 Februari 2022. Pasukan Rusia menyerbu ke arah ibu kota Ukraina Sabtu, dan pertempuran jalanan pecah saat pejabat kota mendesak penduduk untuk berlindung.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China menolak mengutuk atau menyebut serangan Rusia ke Ukraina yang digelar sejak Kamis (24/2/2022) sebagai invasi. Langkah ini membawa Beijing terombang-ambing antara membatasi pukulan balik, tapi juga membela mitra lama yang semakin bermusuhan dengan Barat yang merupakan pasar terbesar China.

Sejak invasi digelar China berulang kali menyerukan kedua belah pihak untuk menggelar dialog. Sementara melalui telepon dengan pejabat-pejabat senior Eropa, Jumat (25/2/2022) lalu Menteri Luar Negeri Wang Yi menegaskan China menghormati kedaulatan semua negara, termasuk Ukraina.

Namun, tetap meminta keprihatinan Rusia pada ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Eropa Timur juga harus ditanggapi dengan tepat. Seusai Presiden Xi Jinping berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin melalui sambungan telepon, China mengatakan, Putin bersedia terlibat dalam dialog "tingkat tinggi" dengan Ukraina.

Tidak lama kemudian Kremlin mengatakan, Putin siap mengirim delegasi ke Minsk untuk berbicara dengan perwakilan Ukraina. Usulan ini disampaikan setelah invasi yang menurut sejumlah diplomat di Beijing mengejutkan China.

Sebab, Negeri Tirai Bambu tidak memerintahkan warganya di Ukraina hengkang dari negara itu sebelum serangan dimulai. Beijing juga berulang kali menuduh AS terlalu membesar-besarkan potensi serangan Rusia.

China pun dikritik atas sikap mereka pada invasi Rusia ke Ukraina. Beijing tidak mengungkapkan apakah Putin menyampaikan rencana serangan ke Ukraina. China mengatakan, Rusia merupakan kekuatan berdaulat yang tidak memerlukan izin dari mereka.

Kebijakan luar negeri China berdasarkan prinsip non-intervensi pada urusan negara lain. Di sisi lain, Beijing juga belum mengakui klaim Rusia di Semenanjung Krimea yang Moskow aneksasi pada 2014 lalu.

"Reaksi pertama mereka membatah adanya invasi mengejutkan kami," kata seorang diplomat Barat di Beijing yang menolak disebutkan namanya, Sabtu (26/2/2022).

"Ini benar-benar bertolak belakang dengan posisi lama mereka pada kedaulatan, integritas wilayah, non-intervensi," kata diplomat tersebut.

Beberapa jam sebelum pembukaan Olimpiade Musim Dingin 2022, Putin sempat bertemu dengan Xi. Pertemuan tiga pekan yang lalu itu menjadi sinyal kedua negara memutuskan memperluas kemitraan strategis mereka dalam menghadapi pengaruh Amerika Serikat (AS). Di pertemuan tersebut dua kepala negara juga mengatakan "tidak ada area 'terlarang' dalam kerja sama."

Ukraina merupakan salah satu mitra dagang terbesar China. Total nilai perdagangan dua arah kedua negara mencapai 19 miliar dolar AS. Hubungan diplomatik mereka pun baik-baik saja.

"Perasaan saya insting awal mereka mengikuti buku pedoman aneksasi Krimea 2014 yang cukup berhasil untuk mereka, di mana mereka dapat menghindari keributan dan agak sedikit mundur kebelakang," kata pengamat dari Mercator Institute for China Studies di Jerman, Helena Legarda.

Legarda mengatakan persaingan geopolitik saat ini jauh lebih sengit dibandingkan 2014. Perhatian dan pengawasan pada Cina juga lebih dalam.

"Orang-orang memantau lebih sesakma, dan 'kami tidak akan berpihak dan kami akan mundur ke belakang' sudah bukan lagi pilihan yang layak," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement