Ahad 27 Feb 2022 13:04 WIB

Yusril Sarankan KPU Perkecil Anggaran Pemilu 2024

Biayanya harus diperkecil mengingat sedang sulitnya keuangan negara saat ini.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa salah satu alasan wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 adalah anggaran penyelenggaraannya yang besar. Ia menyarankan agar anggaran tersebut diperkecil dan disederhanakan.

"Tentu harus dilakukan penyederhanaan terkait penyelenggaraannya. Biayanya harus diperkecil mengingat sedang sulitnya keuangan negara kita, demikian pula mekanisme atau prosedur pelaksanaannya yang juga harus disederhanakan," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Ahad (27/2/2022).

Baca Juga

Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta belajar dari penyelenggara pemilu di Filipina. Pasalnya, mereka dinilai cukup berhasil memanfaatkan teknologi dalam penyelenggaraannya dan menekan anggaran. "Kalau sekiranya tahun 2024 masih ada pandemi Covid-19, maka pemilu digital juga mengurangi risiko warga dapat terpapar virus Covid-19 secara masif," ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Kendati demikian, wacana penundaan Pemilu 2024 bisa saja direalisasikan oleh pemerintah. Ia mengungkapkan, setidaknya ada tiga cara jika wacana tersebut serius ingin dilakukan oleh pemerintah.

Salah satunya adalah lewat perubahan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, hal yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal dalam undang-undang yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 yang terkait dengan pemilu.

"Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma 'Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu'," ujar Yusril.

Cara kedua adalah dengan presiden mengeluarkan dekrit penundaan Pemilu 2024. Hal tersebut juga sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu.

"Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah," ujar Yusril.

"Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar atau pengkhianatan terhadap bangsa dan negara," sambung mantan Menteri Hukum dan HAM itu.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement