Selasa 01 Mar 2022 21:10 WIB

Minyak Goreng Sebabkan Deflasi di Bulan Februari, Ini Kata Ekonom

Minyak goreng merupakan salah satu pangan strategis.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah warga mengantre membeli minyak goreng saat operasi pasar di Asia Plaza, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (25/2/2022). Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Wilmar Group menggelar operasi pasar minyak goreng kemasan premium sebanyak 6.000 liter dengan ketentuan pembelian maksimal satu kemasan berisi dua liter seharga Rp28 ribu bagi tiap pembeli.
Foto: ANTARA/Adeng Bustomi
Sejumlah warga mengantre membeli minyak goreng saat operasi pasar di Asia Plaza, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (25/2/2022). Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Wilmar Group menggelar operasi pasar minyak goreng kemasan premium sebanyak 6.000 liter dengan ketentuan pembelian maksimal satu kemasan berisi dua liter seharga Rp28 ribu bagi tiap pembeli.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komoditas minyak goreng tercatat menjadi salah satu komoditas pangan memicu terjadinya deflasi 0,02 persen pada Februari 2022. Pasalnya, BPS mencatat, komoditas ini memberikan andil terhadap laju deflasi hingga 0,11 persen.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, mengatakan, minyak goreng memang memiliki peran strategis di sektor pangan karena dikonsumsi oleh seluruh golongan. Tak hanya rumah tangga, pelaku usaha restoran dari kelas bawah hingga menengah atas juga menggunakan minyak goreng.

Baca Juga

"Jadi minyak goreng memang posisinya seperti bahan bakar minyak dia menjadi input produksi, jadi bisa mendorong deflasi," kata Rusli kepada Republika, Selasa (1/3/2022).

Rusli tak menampik, banyak komoditas pangan lain yang sedang mengalami kenaikan harga. Seperti misalnya kedelai, daging sapi, hingga bawang merah yang juga menjadi pangan pokok masyarakat. Namun, karena posisi minyak goreng yang yang lebih strategis, kenaikan-kenaikan harga pangan lain tidak terlihat pada angka inflasi. "Jadi memang ini terjadi deflasi di tengah tren kenaikan harga," katanya.

Meski demikian, laju deflasi pada bulan Februari perlu tetap diwaspadai. Memasuki bulan Maret, sebulan sebelum Ramadhan, harga-harga pangan besar kemungkinan mengalami ledakan harga. Terutama, untuk komoditas hortikultura, telur dan daging ayam ras, serta daging sapi dan kerbau.

Dengan kata lain, peningkatan inflasi akan terjadi di bulan Maret. "Tapi secara umum kemungkinan tingkat inflasinya masih okelah, walau tetap harus diwaspadai," kata dia.

Di satu sisi, eskalasi perang Rusia-Ukraina juga sedikit banyak akan memberikan dampak pada harga pangan dunia. Namun, belum dapat diprediksi lebih lanjut karena masih sangat dipenuhi ketidakpastian tentang sampai kapan perang akan berlanjut.

Sementara itu, Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, pada Januari lalu, harga minyak goreng cukup tinggi. Namun, berkat kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang diterbitkan Kementerian Perdagangan, harga secara signifikan turun.

Di satu sisi, aparat hukum juga mulai tegas menindak para oknum penimbun minyak goreng sehingga penurunan harga minyak goreng terjadi.

Senada dengan Rusli, Iskandar mengatakan, inflasi bulan Maret kemungkinan akan mengalami kenaikan. Namun, pemerintah melalui tim pengendalian inflasi pusat dan daerah telah siap dengan sejumlah kebijakan dan program yang akan diterapkan.

"Yakni keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk menghindarkan masyarakat dari belanja berlebihan yang bisa menaikkan harga," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement