Senin 07 Mar 2022 15:46 WIB

Paradoks Nasib Demokrasi di Era Digital

Dunia digital dan demokrasi dengan segala macam imbasnya kini tak bisa dipisahkan

Red: Muhammad Subarkah
Buku Demokrasi di Era Digital dipajang bersama buku Bung Karno & Raffles di Gramedia, Matraman, Jakarta. (12/2/22)
Foto: Gemala Hatta/Satu Pena
Buku Demokrasi di Era Digital dipajang bersama buku Bung Karno & Raffles di Gramedia, Matraman, Jakarta. (12/2/22)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Demokrasi itu barang sangat berharga. Dan kini semakin langka dan terasa semakin ideal, kala memasuki era digital. Semuanya semakin serba cepat. Informasi hampir tak ada jeda. Apa yang terjadi di sudut dunia lain, akan segera diketahui di sudut lainnya juga secara seketika. Situasi seperti ini semakin berarti ketika demokrasi di era digital datang bersamaan dengan hadirnya pandemik Covid-19 yang menghantui seluruh dunia.

Salah satu buku yang terbit dan perlu dibaca adalah buku setebal 790 halaman yang dieditori mantan Wakil Pemimpin Redakasi Republika yang menamatkan pendidikan tingkat doktoralnya di Univeritas Sorborne, Perancis: DR Natsir Tamara. Dalam buku ini dia mengajak berbagai penulis terkemuka Indonesia untuk membahas topik kenyataan demokrasi di era milenial ini dari berbagai tema. Proyek buku ini diselesaikan hingga setahun lebih seiring dengan meluasnya pandemi yang mengharuskan banyak orang 'ngendon' di rumah.

Dalam buku yang diberi epilog oleh cendikiawan Indonesia yang satu-satunya mendapat gelar 'Sir' oleh Ratu Inggirs, Prof DR Azyumardi Azra, membahas sembilan tema. Yakni, dari Demokrasi dan Politik, Demokrasi dan Sosial Ekonomi, Demokrasi Militer dan Pertahanan. Demokrasi Digital, Demokrasi dan Sejarah, Demokrasi dan Agama. Tema lainnya yang juga dibahas adalah Demokrasi dan Kearifan Lokal, Demokrasi dan Kebudayaan, serta Demokrasi dan Perempuan. Natsir Tamara seperti terobsesi pada buku karya Profesor Samuel Hutington dari Havard University yang menulis buku 'The Third Wave: Democration in the Late 20th Century, pada tahun 1982. Buku ini pun cukup tebal dengan ratusan halaman, hampir sama dengan buku yang dieditornya itu.

Mantan Ketua Mahkamah Agung yang kini menjadi anggota DPD RI, Prof DR Jimly Asshiddiqie SH,  memberikan komentar khusus mengenai buku 'Demokrasi di Era Digital' ini. Menurutnya, demokrasi merupakan ide konsep yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman guna mengelola kehidupan bersama dalam wadah organisasi negara dan juga dalam kehidupan antar negara atas dasar kesepakatan bersama tentang identitas kebebasan individu manusia dan kemerdekaan kolektif mereka sebagai bangsa dan komunitas.  Maka itu semua membutuhkan relasi dan komunikasi yang perlu diidealkan dengan silaturahim, hubungan kasih sayang, bukan relasi kebencian dan permusuhan (hatred and animosity) antar sesama.

Sayangnya, lanjut Jimly, justru di era digital malah sering terjadi miskomunikasi, atau malah tidak bisa masuk dalam era komunikasi. Yang ada malah munculnya keadaan dilema yang serba penuh disinformasi, misalnya terjejak di ruang media sosial. Para komunikan sebagai partisipannya malah sering terbawa perasaan (baper) sehingga mereka tidak merasa risi untuk berkata kasar, keras, dan memakai seakan identitas dirinya bisa disembunyikan di era digital yang sudah sangat serba transparan. Akibatnya, demokrasi digital berbelok semakin menjauhi nilai-nilai luhur dan kualitas hidup yang baik sesuai cita-cita asasi dari demokrasi itu sendiri.

photo
Buku Demokrasi di Era Digital yang diterbitkan Buku Obor pada akhir November 2022. Editor biku setebal 790 halaman ini adalah mantan Wapimred Republika, DR Nasir Tamara. - (Istimewa)

 

Selain Jimly, Direktur Indonesia Australia-Indonesia, Kevin Evan, juga berpendapat hampir senada. Menurutnya, buku 'Demokrasi di Era Digital' juga memaparkan masalah baru di negara demokrasi. Ha itu misalnya dengan maraknya perundungan di media siber serta sebaran fitnah dan kebohongan yang beriringan dengan munculnya fenomena baru 'echo chamber' di mana orang hanya berkumpul dan bergaul secara digital dengan pihak yang berpandangan sama menyempitkan wawasan banyak orang. Kesemua ini kemudian menimbulkan intoleransi dan saling pengucilan. Pendek kata seseorang memang secara fisik tinggal berdampingan, namun secara pikiran dan realita hidup bisa sangat berbeda, bahkan berlawanan.

Menurut Evans, dalam terbitan buku akbar 'Demokrasi di Era Digital' yang dipublish oleh penerbit buku Obor, Jakarta, pada November 2021 ini telah mampu  memuat dan menuangkan ide dari puluhan pemikir dan tokoh yang menjembatani banyak ilmu dan pengalaman. Apalagi DR Nastir Tamara selaku penyunting buku adalah tokoh Indonesia yang serba bisa.

Akhirnya, Dr Ismail Fajri Alatas selaku Asistant Profesor of Middle Eastren and Islamic Studies, New York University, ikut mengulas terbitnya buku ini. Menurutnya, ranah digital dan demokrasi adalah dua elemen yang tidak lagi bisa dipisahkan.''Kita menghadapi tantangan bagaimana mencegah arus misinformasi di dunia digital dan secara bersamaan menjaga kebebasan sipil sebagai prinsip dasar demokrasi. Buku ini adalah kontribusi penting dalam diskursus demokrasi digital yang akan terus relevan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement