REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret setiap tahun merupakan momentum bagi wanita di seluruh dunia untuk mengekspresikan harapan mereka. Tak terkecuali bagi wanita-wanita di Afghanistan, India, dan Prancis yang ingin merdeka atas pilihan mereka.
Para wanita juga berunjuk rasa di jalan-jalan dan di media sosial untuk hak mereka dalam berekspresi melalui pakaian mereka. Mereka ingin aturan yang mengategorikan wanita dihilangkan.
Noureen (25 tahun) dari Kochi di India tahu betul bagaimana kebijakan yang mendikte apa yang boleh atau tidak boleh dipakai seorang wanita dapat memengaruhi kehidupan dan harga diri mereka. Dia lulus dari sebuah universitas di Karnataka, India selatan.
Beberapa institusi di sana menolak akses siswa berhijab ke sekolah, mengklaim itu melanggar aturan berpakaian. Langkah itu memicu beberapa protes di negara itu.
Noureen menggambarkan situasi dan meningkatnya diskriminasi terhadap Muslim sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan. “Jilbab adalah iman saya. Kedekatan yang saya rasakan dengan pencipta adalah yang memotivasi saya untuk memakainya,” katanya, dilansir dari The National News, Rabu (9/3/2022).
Untuk melawan, sekelompok mahasiswa Muslim mengajukan petisi yang mengatakan aturan ini melanggar hak mereka di bawah konstitusi sekuler India. Almas adalah salah satu dari mahasiswa itu.
Di tahun keduanya di Government Pre-University College for Girls, Udupi, dia mengatakan arti hijab adalah menutup. Dengan memakai hijab, perempuan-perempuan Muslim akan merasa lebih aman dan terlindungi.
“Saya memakainya karena saya merasa (hijab) seperti itu melindungi saya. Ini menurut saya, itu bagian dari diri saya sekarang,” ujar Almas.