Kamis 10 Mar 2022 14:30 WIB

Partai Gelora Gugat UU Pemilu Soal Keserentakan Pemungutan Suara 

Konstitusi tidak memuat pasal yang mengatur pemilu legislatif dan presiden serentak.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ilustrasi
Foto: Dok Republika.co.id
Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Partai politik (parpol) yang diketuai Anis Matta ini menggugat ketentuan keserentakan pemungutan suara pemilu yang diatur Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347. 

"Dalam konstitusi tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur secara tegas yang menjelaskan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan presiden dan wakil presiden dilakukan secara serentak," demikian dikutip dokumen permohonan pemohon yang diakses melalui laman resmi MK, Kamis (10/3/2022). 

Baca Juga

Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta bersama Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah dan Sekretaris Jenderal Mahfudz Siddiq memberikan kuasa kepada advokat, Guntur F Prisanto dkk. Menurut mereka, pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif (pileg) serta presiden dan wakil presiden (pilpres) dalam satu waktu hanya tafsir MK.

Pemohon menyebutkan, pada Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tidak ada kalimat secara tegas yang menyatakan pemilihan umum harus dilaksanakan secara serentak. Konstitusi hanya menyatakan, pemilu diadakan setiap lima tahun sekali. 

Pemohon menilai, pemilu yang dilaksanakan terpisah antara pileg dan pilpres tetap konstitusional. Mereka juga berpendapat, alasan digelarnya pemilu serentak untuk efisiensi anggaran hanya sekadar asumsi dan pandangan yang tidak berdasar. 

Para politikus itu mengatakan, pada Pemilu 2024 yang akan datang, hak Partai Gelora untuk mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden, baik secara sendiri maupun gabungan dengan parpol lainnya--sebagaimana Pasal 6A ayat 2 UUD 1945--akan hilang, karena berlakunya ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 UU Pemilu. Apalagi, Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan, parpol atau gabungan parpol dapat mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden apabila memenuhi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPR RI atau 25 persen perolehan suara hasil pemilu sebelumnya. 

Ketentuan tersebut membuat Partai Gelora tidak bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Partai Gelora pun tidak memiliki nilai tawar untuk dapat bergabung dengan partai lainnya dalam mengajukan calon presiden-wakil presiden. 

"Meskipun pemohon pada saat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemungkinan besar telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum tetapi tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta pemohon tidak memiliki nilai tawar di dalam mengusulkan calon presiden-wakil presiden untuk bergabung dengan partai politik lainnya," kata pemohon. 

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa 'secara serentak' dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) diselenggarakan sebelum pilpres.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement